MEMBELA DIRI




MEMBELA DIRI
الانتصار

وَالَّذِيْنَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُوْنَ
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila diperlakukan dengan zalim, maka mereka membela diri.”       Sesungguhnya sifat keseimbangan yang menjadi karakteristik agama Islam, pada satu sisi membuat sebagian orang beriman di sebagian tempat bersifat tawadhu' (rendah hati) lagi toleransi, suka memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain. Pada sisi yang lain, Anda akan menemukannya tegar bersemangat di atas muru`ahnya, menuntut haknya, membalas orang yang menganiayanya, membela diri dari perbuatan jahat yang ditujukan kepadanya.
Kapan waktunya membela diri?
          Ibnul Arabi rahimahullah menjelaskan jawaban pertanyaan ini dengan mengatakan: 'Bahwa orang zalim yang terang-terangan berbuat fasik, tidak punya rasa malu di hadapan orang banyak, menyakiti yang kecil dan lemah, maka melakukan pembalasan terhadapnya lebih diutamakan.' Beliau menjelaskan kondisi yang menuntut pemberian maaf: 'Bahwa jika terjadi kekeliruan, lalu orang tersebut mengaku salah dan memohon maaf, maka pemberian maaf di sini lebih diutamakan.'
          Al-Kayy al-Thabari rahimahullah menguatkan pengertian ini dalam Ahkam-nya dan sependapat dengan Ibn Arabi bahwa keutamaan meminta tolong dipahami dari ucapan Ibrahim al-Nakha'i tentang salafus shalih: (Mereka tidak suka merendahkan diri mereka, maka orang-orang fasik menjadi berani atas mereka) dan pemberian maaf hanya kepada pelaku yang menyesal dan bertaubat.
          Al-Qurthubi rahimahullah mengakui perincian ini dan memandangnya baik dan membawakan pengampunan kepada yang tidak terus-terus (berbuat dosa). Ia berkata: 'Adapun orang yang terus menerus melakukan perbuatan dosa dan aniaya, maka yang utama adalah membela diri dari (kejahatan)nya.'[1]
          Di antara yang disebutkan Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsir firman Allah I:
وَالَّذِينَ إِذَآ أَصَابَهُمُ الْبَغْىُ هُمْ يَنتَصِرُونَ
Dan (bagi) orang-orang yang apabila  diperlakukan secara zalim, maka  mereka membela diri. (QS. Al-Syura: 39).
'Hal ini bersifat umum pada perlakukan zalim setiap orang baik dari orang kafir maupun lainnya. Maksudnya adalah apabila mereka diperlakukan dengan zalim oleh orang zalim, mereka tidak menyerah diri terhadap kezalimannya.'[2]  Dan setelah menyebutkan beberapa pendapat, ia memberi komentar seraya berkata: 'Secara umum, memberi maaf dianjurkan, kemudian dalam kondisi tertentu persoalannya menjadi terbalik, maka membalasnya lebih dianjurkan…dan hal itu apabila diperlukan menahan bertambahnya kezaliman dan memutuskan sumber gangguan dan dari Nabi r ada riwayat yang menunjukkan hal itu.'[3]
          Dalam tafsir ayat:
وَالَّذِينَ إِذَآ أَصَابَهُمُ الْبَغْىُ هُمْ يَنتَصِرُونَ . وَجَزَآؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةً مِّثْلَهَا
Dan (bagi) orang-orang yang apabila  diperlakukan secara zalim,  maka mereka membela diri. * Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,…(QS. Al-Syura: 39-40).
Maksudnya adalah membalas tindakan orang yang berbuat zalim kepada mereka dan tidak menerima kezaliman orang yang melewati batas. Abus Su'ud rahimahullah berkata, 'Ia adalah sifat keberanian bagi mereka seperti sifat mereka dengan segala keutamaan, dan ini tidak menafikan sifat mereka yang pengampun, karena semuanya terpuji pada tempatnya. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,  maksudnya adalah balasan perbuatan jahat bahwa ia membela diri dalam menghadapi orang yang berbuat zalim kepadanya, tanpa melakukan tindakan yang berlebihan. Imam al-Fakhr berkata: Tatkala Allah I berfirman: Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri menambahkan dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa pembelaan itu harus sepadan, tanpa berlebih-lebihan.
          Tatkala Imam Malik ditanya oleh Sa'id bin Musayyib rahimahullah: (Aku tidak memaafkan seseorang), ia mengarahkan ucapan ini kepada orang yang tidak memaafkan orang yang zalim. Ia berkata: (Aku tidak berpendapat bahwa ia memaafkan orang yang bertindak zalim kepadanya). Ibn Arabi rahimahullah menjelaskan fatwa Imam Malik rahimahullah dengan ucapannya:  (Jika ia orang yang zalim, maka yang benar bahwa ia tidak membiarkannya, agar orang-orang zalim tidak terperdaya dan terus menerus melakukan perbuatan mereka yang buruk).[4]
          Al-Shawi rahimahullah menguatkan makna ini dalam Hasyiyah-nya atas tafsir Jalalain, ia berkata: 'Termasuk kemuliaan akhlak adalah memaafkan dan santun saat tujuan tercapai, akan tetapi disyaratkan bahwa sikap santun itu tidak menodai harga diri. Dan apabila yang diharamkan Allah I dilanggar, maka yang wajib pada saat itu adalah marah. Dan atas pengertiannya ucapan Imam Syafii: 'Barangsiapa yang dituntut marah, tetapi ia tidak marah, maka ia adalah keledai.' Penyair berkata: 'Sikap santun (tidak marah) pada seorang pemuda yang berbuat bukan pada tempatnya adalah kebodohan.'[5]
          Firman Allah I:
لاَّيُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَن ظُلِمَ
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya…” (QS. Al-Nisaa: 148).

Al-Qurthubi rahimahullah mengutip dalam tafsir ayat menurut qira`at
(إِلاَّ مَن ظلمَ) perkataan Abu Ishaq al-Zajjaj: 'Boleh maknanya: kecuali orang yang berbuat zalim, lalu ia mengatakan ucapan buruk, maka sungguh semestinya engkau memegang kedua tangannya.' Dan Al-Qurthubi rahimahullah memberi komentar seraya berkata: 'Saya katakan: ada beberapa Hadits yang menunjukkan hal ini, di antaranya sabda Nabi r:
خُذُوْا عَلَى أَيْدِي سُفَهَائِكُمْ
"Ambilah tangan orang-orang yang bodoh darimu."[6]
Dan sabdanya r:
انْصُرْ أَخاَكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا قَالُوا: هذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُوْمًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: تَكُفُّهُ عَنِ الظُّلْمِ.

'Tolonglah saudaramu yang berbuat aniaya atau yang dianiaya.' Mereka bertanya: Kami menolong orang dianiaya, lalu bagaimana cara kami menolong orang berbuat aniaya? Beliau r bersabda: 'Engkau menghalanginya dari perbuatan zalim.'[7] dan [8]
          Dalam sebuah Hadits yang panjang: Para istri Nabi r mengutus Zainab radhiyallahu 'anha untuk menuntut persamaan hak mereka dengan Aisyah radhiyallahu 'anha, karena mereka merasa bahwa untuknya di hatinya r ada tempat khusus yang tidak ada untuk yang lain, dan mereka melihat hadiah-hadiah manusia lebih banyak datang saat Beliau r berada di rumah Aisyah radhiyallahu 'anha. Dan Zainab radhiyallahu 'anha melampaui batas dalam pembicaraan terhadap Aisyah radhiyallahu 'anha, sedangkan Aisyah radhiyallahu 'anha memandang kepada Rasulullah r seraya berkata: 'Sampai aku mengetahui bahwa Rasulullah tidak benci bahwa aku membela diri…'[9] dan dalam satu riwayat: 'Sampai Nabi r bersabda: 'Silahkan, maka belalah dirimu.' Lalu aku maju atasnya sehingga aku melihat telah kering air liur yang ada di mulutnya, dia tidak bisa menjawab sedikitpun. Maka aku melihat wajah Rasulullah r berseri-seri.'[10]
          Tidak boleh bagi yang membela diri melampaui batas terhadap saudaranya yang muslim melebihi perbuatan buruknya kepadanya dan ia tidak boleh mengurangi haknya. Dalam riwayat Muslim pada Hadits Aisyah radhiyallahu 'anha di atas, ia berkata: '…Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik dari pada Zainab radhiyallahu 'anha, lebih taqwa kepada Allah I, lebih jujur dalam bicara, lebih menyambung silaturrahim, lebih banyak bersedakah, lebih mengorbankan dirinya dalam beramal yang ia bersedakah dan mendekatkan diri dengannya kepada Allah I, selain ia cepat marah namun cepat tenang kembali.'[11] Itulah adab kenabian disertai dasar-dasarnya dengan mencela yang tidak melewati batas keadilan dan tidak lupa memakluminya.
          Kita harus membedakan di antara pembelaan diri kita dari saudara kita yang kebaikannya lebih banyak dan membela diri dari orang zalim yang terus menerus atau orang kafir yang sombong. Apabila engkau memperkirakan bahwa pembelaanmu dari saudaramu yang berbuat jahat kepadamu bisa menambah keburukan, maka tutuplan pintu setan dan pertimbangkanlah mashlahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan).
          Disebutkan, bahwa seorang laki-laki menyakiti Abu Bakar t di hadapan Nabi r. Maka ketika ia menyakitinya untuk yang ketiga kalinya, Abu Bakar t membela diri, lalu Rasulullah r berdiri ketika Abu Bakar membela diri. Abu Bakar berkata: 'Apakah engkau marah kepadaku, wahai Rasulullah? Rasulullah r menjawab: 'Malaikat turun dari langit mendustakan ucapannya kepadamu. Maka tatkala engkau membela diri, syetan terjatuh. Maka aku tidak duduk saat syetan terjatuh."[12] Al-Khaththabi rahimahullah berkata dalam menjelaskan Hadits di atas: 'Sesungguhnya syetan terjatuh ketika Abu Bakar membela diri, karena pembelaan dirinya menggoda pelakunya –apalagi telah nampak kejahatan darinya dengan berulangnya perbuatan jahat- dengan bertambah dan terus menerus, maka hal itu menjadi penyebab keseriusan perkara.'[13]
          Dan orang yang dikalahkan di atas perkaranya mengikuti Nabi Nuh u saat ia sudah merasa lemah menghadapi kaumnya:
فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ
“…maka ia mengadu kepada Rabbnya: "Bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu tolonglah (aku)". (QS. Al-Qamar: 10).
Adapun orang yang mampu membela diri –dengan pembatasan-pembatan dan syarat-syarat secara syara'-[14] maka tidak ada alasan baginya dalam mengalah dan tunduk terhadap orang-orang zalim.
          Firman Allah I:
وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ اْلأُمُورِ
“ …tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (QS. Al-Syura: 43).

Al-Qurthubi rahimahullah berkata: ampunilah  yang tidak terus menerus berbuat zalim, adapun orang yang terus menerus di atas perbuatan aniaya dan zalim, maka yang utama adalah membela diri darinya.[15] Adapun menahan marah maka dianjurkan kepadanya setelah mampu membalas. Dan apabila diketahui kebenaran, lalu ia bertaubat dan penyesalannya, atau itu hanya kekeliruan darinya yang tidak terus menerus atasnya, maka memberi maaf saat itu lebih utama. Adapun pemberian maaf orang yang lemah, maka ia adalah maaf orang yang terpaksa, tidak ada keutamaan padanya.
          Sesungguhnya menghidupkan akhlak intishar (membela diri atau melawan) sangat penting, agar umat tidak terbiasa menerima kehinaan, tidak dari orang fasik yang menguasainya dan tidak pula dari orang kafir yang menyembelihnya. Karena umat yang terbiasa tenang di hadapan perbuatan zalim dan ketenangan di hadapan kerendahan dan tindakan sewenang-wenang, ia telah kehilangan amar ma'ruf dan nahi munkar, serta telah sirna semangat jihad. Apakah kita membela diri saat harus membela diri dari orang yang tidak berhenti kecuali dengan cara melawan?

Kesimpulan:
  • Membela diri adalah tanda kesempurnaan akhlak. Memaafkan dan toleransi, di tempat yang tidak semestinya memberi maaf adalah tanda kelemahan.
  • Membela diri dari orang zalim yang terus menerus melakukannya, lebih utama dari pada memberi maaf, dan memberi maaf kepada yang menyesal lagi berhenti lebih diutamakan.
  • Keberanian dalam membela diri tidak bertentangan dengan syariat, bersamaan dengan  memberi maaf kepada yang keliru.
  • Fatwa Imam Malik rahimahullah dalam membela diri dari orang zalim agar ia tidak terperdaya dan terus menerus dalam kezalimannya.
  • Sederhana dalam membela diri yaitu dengan semisalnya dan tidak melebihi dari kezalimannya.
  • Disyaratkan pada sifat hilm (santun) bahwa tidak mengurangi sifat muru`ah, jika tidak maka membela diri/melawan lebih utama.
  • Pada tafsir (terang-terangan berbuat kejahatan) mengambil tangan orang bodoh dan menahannya dari perbuatan zalim.
  • Pendirian intishar di antara Aisyah dan Zainab radhiyallahu 'anhuma.
  • Bagi yang melawan tidak boleh melewati batas keadilan dan kejujuran.
  • Yang dikalahkan di atas perkaranya berdoa dan yang mampu membela diri, dan tidak ada keutamaan dalam pemberian maaf orang yang lemah.
  • Al-Qurthubi rahimahullah membawakan makna ayat (orang yang bersabar dan memaafkan) atas orang yang tidak terus menerus berbuat zalim.
  • Akhlak intishar menghidupkan semangat jihad pada umat.


 




[1]  Semua kutipan dari tafsir Al-Qurthubi 16/39, dan ucapan Al-Nakha'i, Al-Bukhari berdalil dengannya dalam judul bab ke- 6 dari kitab Mazhalim dengan lafazh:  'Mereka tidak suka direndahkan, maka apabila mereka mampu, mereka memaafkan.
[2] Tafsir Al-Qurthubi 16/39.
[3] Tafsir Al-Qurthubi 16/44.
[4]  Ucapan Imam Malik dan alasannya dari tafsir Al-Qurthubi 16/42-43.
[5]  Dari Shafwatut Tafasir 3/143, Al-Shawi 4/40 saat menafsirkan ayat 39 dari surah Al-Syura.
[6]  Al-Qurthubi berhujjah dengannya, dan ia dalam Dha'if al-Jami' no. 2819 (Dha'if).
[7] HR Al-Bukhari, kitab Mazhalim, bab ke- 4, Hadits no. 2444 (Fathul Bari 5/98).
[8]  Tafsir Al-Qurthubi 6/4.
[9]  Shahih Muslim, Fadhailus Shahabah, bab ke-13, Hadits  83/2442 (Syarah Al-Nawawi 8/214).
[10]  Shahih Sunan Ibnu Majah karya Albani, kitab Nikah, bab ke-50, Hadits no. 1611/1981 (Shahih).
[11]  Shahih Muslim, Hadits no. 2442.
[12] Shahih Sunan Abu Daud karya Syaikh Albani, kitab Adab, bab ke-49, Hadits no. 4094/4896 (Hasan).
[13]  Syarh Sunan Abu Daud (Ma'alimus Sunan 5/204).
[14] Di antara pembatasan dan catatan yang disinggung kepadanya dalam membela diri dari seorang muslim yang zalim: bahwa pemberian maaf membuat dia bertambah berani –atau ia terus menerus dalam kezalimannya- sebagaimana termasuk pembatasan orang yang membela diri bahwa ia tidak melewati lebih dari perbuatan zalimnya – dan bahwa pembelaan dirinya tidak membawa kepada keburukan yang lebih besar dari perbuatan zalimnya menurut perkiraan dan sangkaannya.
[15]  Tafsir Al-Qurthubi 16/39.

Tidak ada komentar