Uzur Yang Membolehkan Tidak Puasa Ramadhan



Uzur Yang Membolehkan Tidak Puasa Ramadhan


Segala puji bagai Allah. Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi terakhir, Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabat dan siapa saja yang mengambil petunjuknya hingga hari kiamat.
Adapun selanjutnya:

Sesungguhnya Allah tidak membebani seorang pun kecuali sesuai kadar kemampuannya. Puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim yang balig, berakal, mampu berpuasa, mukim dan tidak sedang haid ataupun nifas. Ketika ada uzur boleh tidak puasa Ramadhan. Uzur-uzur tersebut di antaranya:
1-   Sakit. Sebagaimana firman Allah -ta'âla-:

“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Maksud sakit di sini adalah sakit yang akan membahayakan si sakit jika berpuasa, memperparah sakitnya atau membinasakan. Dalam keadaan demikian wajib tidak berpuasa. Sebagaimana firman -ta'âla-:

“...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...” (QS. Al-Baqarah: 195)
Sabda Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-:
))لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ((
“Jangan mengganggu (membahayakan) dan jangan membalas gangguan.”
[HR. Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits sahih]
Jika puasa hanya memberatkan, tidak sampai membahayakan, tidak wajib berbuka, tetapi mubah (boleh), boleh juga berpuasa. Jika puasa tidak membahayakan maupun memberatkan, wajib puasa, tidak boleh tidak puasa.
2-   Safar masyru[1] (perjalanan yang disyariatkan) atau mubah (dibolehkan) (80 km atau lebih). Jika musafir merasa puasa amat sangat memberatkannya, wajib berbuka. Jika tetap puasa dia bermaksiat. Jika puasa tidak sangat memberatkannya, hanya sedikit memberatkan, yang utama berbuka. Jika sama baginya puasa atau tidak puasa, dia dapat memilih antara tidak puasa atau puasa. Sebagaimana sabda Nabi -shalallahu alaihi wasallam-:
))إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ((
“Jika berkehendak engkau dapat berpuasa, bisa juga tidak.”
3-   Wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap janin atau anaknya wajib tidak puasa. Jika khawatir terhadap dirinya, maka seperti hukum orang sakit. Jika khawatir terhadap diri dan anaknya kemudian berbuka, diharuskan mengqodho. Tetapi jika tidak puasa semata khawatir terhadap janin atau anaknya, wajib mengganti puasa dan wajib bagi walinya memberi makan satu orang miskin setiap hari yang ditinggalnya.
4-   Lanjut usia. Siapa yang sudah hilang kesadarannya tidak wajib puasa ataupun memberi makan, karena dia tidak mukalaf[2]. Adapun lanjut usia yang masih sadar tetapi tidak mampu puasa, boleh tidak puasa, sebagai gantinya memberi makan satu orang miskin setiap harinya.
5-   Jika takut dirinya akan binasa bila puasa, karena lapar atau haus yang sangat, boleh berbuka dengan apa yang menghilangkan hal itu. Jika perlu berbuka untuk menyelamatkan orang lain, dia boleh berbuka. Cukup baginya mengqodho (mengganti) puasanya.
6-   Haid dan nifas. Tidak sah puasa seorang wanita jika mengalami dua hal tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- mengenai wanita:
((أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ))
“Bukankah jika haid tidak shalat dan puasa!”
§  Diharamkan bagi yang puasa mendekati apa-apa yang dapat membatalkan puasanya atau menghilangkan pahala puasanya. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-  telah bersabda kepada al-Laqît:
(( وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا ))
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (memasukkan air ke hidung ketika berwudu) kecuali engkau sedang puasa.”
[HR. Ahli Sunan dan Ahmad. Hadits sahih]
§  Musafir yang melakukan safar muharram (perjalanan maksiat) tidak ada rukshah (keringanan) baginya untuk tidak puasa Ramadhan, tidak pula mengqoshor[3] maupun menjama’[4] shalat dalam perjalanannya. Rukhsah (keringanan) tidak menjadi boleh dengan maksiat. Sebagaimana firman Allah -ta'âla-:

“...dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 42)




[1] Safar masyru’ (perjalanan yang disyariatakan) seperti perjalanan haji dan umrah, silaturahmi, menuntut ilmu dsb. –pent.
[2] Mukallaf artinya telah terbebani menjalankan kewajiban syariat.
[3] Qoshar artinya menyingkat pelaksanaan shalat 4 rakaat menjadi 2 rakaat –pent.
[4] Jama’ Shalat artinya menggabungkan pelaksanaan 2 shalat dalam satu waktu. Dzuhur dengan Ashar dan Magrib dengan Isya. Shalat Subuh tidak dapat dijama –pent.

Tidak ada komentar