Hukum Meninggalkan Shalat



Hukum Meninggalkan Shalat

Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para ulama pada zaman dahulu dan masa sekarang.
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yaitu kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.
Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.
Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. As Syuura: 10).
Dan  Allah juga berfirman:
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. An Nisa : 59 ).
Oleh karena masing-masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing-masing pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu di antara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, maka akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari islam.

Pertama : Dalil dari Al-Qur'an:
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah ayat 11:
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” (QS. At Taubah: 11).
     Dan dalam surat Maryam ayat 59-60, Allah berfirman:
“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60).
Relevansi ayat kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya: "kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.
Dan relevansi ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahwa kita dan orang-orang musyrik telah menentukan tiga syarat:
·   Hendaklah mereka bertaubat dari syirik.
·   Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan
·   Hendaklah mereka menunaikan zakat.
Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.
Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama kita.
Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.
Cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat qishash karena membunuh:
“Maka barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) .” (QS. Al Baqarah: 178).
Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa: 93).
Kemudian cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari kaum mu’minin yang berperang:
“Dan jika ada dua golongan dari orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil, sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…”. (QS. Al Hujurat: 9).
Di sini Allah subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
)) سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ((
“Menghina seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Namun kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka masih saudara seiman.
Dengan demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang sederhana tingkatannya (yang tidak menyebabkan keluar dari Islam) maka persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.
Jika ada pertanyaan: Apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ?
Jawabnya adalah: Orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah.
Akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan di bagian akhir hadits:
(( ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلىَ الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ ))
“ … Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.”
Hadits ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab: “dosa orang yang tidak mau membayar zakat”.
Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata ia menjadi kafir, maka tidak akan ada jalan baginya menuju surga.
Dengan demikian manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari pada mafhum (yang tersirat) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih didahulukan dari pada mafhum.
Kedua: dalil dari As Sunnah 
1-   Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ))
“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab: Al-Iman) .
2-   Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib radhiallahu ‘anhu, ia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ ))
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka benar benar ia telah kafir.” (HR.Abu Daud, Turmudzi, An Nasa'i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan orang kafir tidak sama dengan aturan orang Islam. Karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir.
3-   Diriwayatkan dalam shahih Muslim, dari Ummu Salamah radliallahu 'anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( سَتَكُوْنُ أُمَـرَاء ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِـرُوْنَ ، فَمَنْ عَرَفَ بَرَئَ، وَمَنْ أَنْكَـرَ سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوْا: أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ ؟ قَالَ: لاَ مَا صَلُّوْا ))
“Akan ada para pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran yang dilakukannya, barangsiapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barangsiapa yang menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, (tidak akan selamat), para sahabat bertanya: bolehkah kita memerangi mereka? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:" Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”
4-     Diriwayatkan pula dalam shahih Muslim, dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ ، وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ ، قِيْلَ: يَا رَسُـوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ ؟ قَالَ : لاَ ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ))
“Pemimpin kamu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukai kamu, serta mereka mendo'akanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kamu yang paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya: ya Rasulallah, bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang? beliau menjawab: "tidak, selama mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”
Kedua hadits yang terakhir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kekafiran yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti di hadapan Allah nanti, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu:
(( دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ r فَبَايَعْنَاهُ ، فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَيْ مَنْشَطِناَ وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِناَ وَيُسْرِنَا وَأَثْرَةٍ عَلَيْنَا ، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْـرَ أَهْلَهُ ، قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَّاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَان))
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak kami, dan kamipun membai'at beliau, di antara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda beliau:” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang- terangan yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”
Atas dasar ini, maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan pedang adalah kekafiran yang terang-terangan yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti.

@@@@ 

Tidak ada satu nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. Kalaupun ada hanyalah nash-nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya, namun nash-nash tersebut muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada dalil yang umum.
Jika ada pertanyaan: Apakah nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya?
Jawab: Tidak boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya:
Pertama: Menghapuskan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah  dan dijadikan sebagai dasar hukum.
Allah telah menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak berfirman: "Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak bersabda: "Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”.
Seandainya pengertian ini yang dimaksud oleh Allah subhaanahu wa ta’aala dan Rasul-Nya, maka tidak menerima pengertian yang demikian ini berarti menyalahi penjelasan yang dibawa oleh Al Qur’an.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
قال الله تعالى: ] $uZø9¨tRur šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« [
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu …”. (QS. An Nahl: 89).
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka …”.  (QS. An Nahl: 44).
Kedua: Menjadikan ketentuan yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai landasan hukum.
Mengingkari kewajiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya, tanpa alasan karena tidak mengetahuinya, baik dia mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.
Kalau ada seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun, dan hal-hal yang wajib dan sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut, tanpa ada suatu alasan apapun, maka orang tersebut telah kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa tidak benar jika nash-nash tersebut dikenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, yang benar ialah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkannya keluar dari Islam, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab Sunan, dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada kita:
(( لاَ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا، وَلاَ تَتْرُكُوا الصَّلاَةَ عَمْدًا، فَمَنْ تَرَكَهَا عَمْدًا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ خَرَجَ مَنَ الْمِلَّةِ ))
“Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam.”
Demikian pula, jika hadits ini kita kenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka penyebutan kata “shalat” secara khusus dalam nash-nash tersebut tidak ada gunanya sama sekali.
Hukum ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa, dan haji, barangsiapa yang meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir, jika tanpa alasan karena tidak mengetahui. Karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil naqli (Al -Qur’an dan As Sunnah), maka menurut dalil 'aqli nadzari (logika) pun demikian.
Bagaimana seseorang dikatakan memiliki iman, sementara dia meninggalkan shalat yang merupakan sendi agama. Dan pahala yang dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk segera melaksanakan dan mengerjakannya. Serta ancaman bagi orang yang meninggalkannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk tidak meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seseorang meninggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada dirinya.
Jika ada pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat diartikan sebagai kufur ni’mat, bukan kufur millah (yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya dibawah kufur akbar, seperti kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba:
(( ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ))
“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang yang telah mati.”
(( سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ))
“Menghina seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Jawab: Pengertian seperti ini dengan mengacu pada contoh tersebut tidak benar, karena beberapa alasan:
Pertama  : Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan keimanan, antara orang-orang mu’min dan orang-orang kafir, dan batas ialah yang membedakan apa saja yang dibatasi, serta memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi berlainan, dan tidak bercampur antara yang satu dengan yang lain.
Kedua :    Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang yang meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu sendi Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran.
Ketiga:    Di sana ada nash-nash lain yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yang dengan kekafirannya menyebabkan ia keluar dari Islam.
              Oleh karena itu kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti yang dikandungnya, sehingga nash-nash itu akan sinkron dan harmonis, tidak saling bertentangan.
Keempat:     Penggunaan kata kufur berbeda-beda, tentang meninggalkan shalat beliau bersabda:
(( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ ))
“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab al iman).
Di sini digunakan kata “Al ”, dalam bentuk ma’rifah (definite), yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya, berbeda dengan penggunaan kata kufur secara nakirah (indefinite), atau “kafara” sebagai kata kerja, atau bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam perbuatan ini, bukan kekafiran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.
     Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang bernama "Iqtidha ashshirath al mustaqim" cetakan As Sunnah al Muhammadiyah, hal 70, ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
(( ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ))
“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang mati.”
Ia mengatakan: sabda Nabi “Keduanya merupakan kekafiran” artinya: kedua sifat ini adalah suatu kekafiran yang masih terdapat pada manusia, jadi kedua sifat ini adalah suatu kekafiran, karena sebelum itu keduanya termasuk perbuatan-perbuatan kafir, tetapi masih terdapat pada manusia.
Namun, tidak berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya salah satu bentuk kekafiran dengan sendirinya menjadi kafir karenanya secara mutlak, sehingga terdapat pada dirinya hakekat kekafiran. Begitu pula, tidak setiap orang yang terdapat dalam dirinya salah satu bentuk keimanan dengan sendirinya menjadi mu’min.
Penggunaan kata “Al Kufr” dalam bentuk ma’rifah (dengan kata “Al”) sebagaimana disebut dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
(( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ ))
“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab al iman).
Berbeda dengan kata “Kufr” dalam bentuk nakirah (tanpa kata “Al”) yang digunakan dalam kalimat positif.
@@@@

Apabila sudah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam, berdasarkan dalil-dalil ini, maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy Syafi'i, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60).
Disebutkan pula oleh Ibnu Al Qayyim dalam “Kitab Ash Shalat” bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Syafi’i, Ath Thahaqi pun menukilkan demikian dari Imam Syafii sendiri.
Dan pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas sahabat, bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma’ (consensus) para sahabat.
Abdullah bin Syaqiq mengatakan: ”Para sahabat Nabi radhiallahu 'anhum berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, kecuali shalat”. (Diriwayatkan oleh Turmudzi dan Al Hakim menyatakannya shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Muslim).
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, seorang Imam terkenal mengatakan: “Telah dinyatakan dalam hadits shahih dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para ulama sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan sehingga lewat waktunya adalah kafir.”
Dituturkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah bahwa pendapat tersebut telah dianut oleh Umar, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para sahabat lainnya, dan ia berkata: “Dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara sahabat Nabi yang menyalahi pendapat mereka ini”, keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al Mundziri dalam kitabnya "At Targhib Wat Tarhib", dan ada tambahan lagi dari para sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu, ia berkata lebih lanjut: “dan diantara para ulama yang bukan dari sahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abdullah bin Al Mubarak, An Nakha'i, Al Hakam bin Utbaibah, Ayub As Sikhtiyani, Abu Daud At Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan lain-lainnya.”
Jika ada pertanyaan: Apakah jawaban atas dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir?
Jawab: Tidak disebutkan dalam dalil-dalil ini bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau mu’min, atau tidak masuk neraka, atau masuk surga, dan yang semisalnya.
Siapapun yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari lima bagian dan kesemuanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.
Bagian pertama: Hadits-hadits tersebut dhaif dan tidak jelas, orang yang menyebutkannya berusaha untuk dapat dijadikan sebagai landasan hukum, namun tetap tidak membawa hasil.
Bagian kedua: Pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu yang Dia kehendaki. (QS. An Nisa: 48).
Firman Allah “مَا دُوْنَ ذَلِكَ ” artinya: “dosa-dosa yang lebih kecil dari pada syirik ”, bukan “dosa yang selain syirik”, berdasarkan dalil bahwa orang yang mendustakan apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya adalah kafir, dengan kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa orang yang meninggalkan shalat tidak termasuk syirik.
Andaikata kita menerima bahwa firman Allah         مَا دُوْنَ ذَلِكَ ” artinya adalah “dosa-dosa selain syirik”, niscaya inipun termasuk dalam bab Al Amm Al Makhsus (dalil umum yang bersifat khusus), dengan adanya nash-nash lain yang menunjukkan adanya kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.
Bagian ketiga: Dalil umum yang bersifat khusus, dengan hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Contohnya: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:
(( مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ ))
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”
Inilah salah satu lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah, Ubadah bin Shamit dan Itban bin Malik radhiallahu ‘anhum.
Bagian keempat: Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya meninggalknan shalat.
Contohnya: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Itban bin Malik radhiallahu ‘anhu:
(( مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ ))
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata-mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”
Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:
(( مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ))
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata-mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka”. (HR. Bukhari).
Dengan dibatasinya pernyataan dua kalimat syahadat dengan keikhlasan niat dan kejujuran hati, menunjukkan bahwa shalat tidak mungkin akan ditinggalkan, karena siapapun yang jujur dan ikhlas dalam pernyataannya niscaya kejujuran dan keikhlasannya akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat, dan tentu saja, karena shalat merupakan sendi Islam, serta media komunikasi antara hamba dan Tuhan.
Maka apabila ia benar-benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu akan berbuat apapun yang dapat menghantarkannya kepada tujuannya itu, dan menjauhi segala apa yang menjadi penghalangnya.
Demikian pula orang yang mengucapkan kalimat “La Ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah” secara jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-mata karena Allah, dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu termasuk syarat-syarat syahadat yang benar.
Bagian kelima: Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu kondisi yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat.
Contohnya: Hadits riwayat Ibnu Majah, dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( يُدْرَسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يُدْرَسُ وَشْيُ الثَّوْبِ " وفيه " وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيْرُ وَالْعَجُوْزُ يَقُوْلُوْنَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُوْلُهَا ))
“Akan hilang Islam ini sebagaimana akan hilang ornamen yang terdapat pada pakaian”… “dan tinggallah beberapa kelompok manusia, yaitu kaum lelaki dan wanita yang tua renta, mereka berkata:”kami mendapatkan orang tua kami hanya menganut kalimat “La Ilaha Illallah” ini, maka kamipun menyatakannya (seperti mereka) .”
Shilah berkata kepada Hudzaifah:” Tidak berguna bagi mereka kalimat “La Ilaha Illallah”, bila mereka tidak tahu apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu zakat.”, maka Hudzaifah radhiallahu ‘anhu memalingkan mukanya dengan menjawab:” wahai Shilah, kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari api neraka”, berulang-kali dia katakan seperti itu kepada Shilah, dan ketiga kalinya dia mengatakan sambil menatapnya.
Orang-orang yang selamat dari api neraka dengan kalimat syahadat saja, mereka itu dima'afkan untuk tidak melaksanakan syari'at Islam, karena mereka sudah tidak mengenalnya, sehingga apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja, kondisi mereka adalah serupa dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum diperintahkannya syari'at, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk mengerjakan syari'at, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi belum sempat mengenal syari'at ia meninggal dunia.
Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak kafir orang yang tidak shalat atau meninggalkannya, tidak dapat melemahkan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, karena dalil-dalil yang mereka pergunakan itu dhaif, dan tidak jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran pendapat mereka, atau dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang menjadi alasan untuk meninggalkan shalat, atau dalil umum yang bersifat khusus dengan adanya nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, berdasarkan dalil yang kuat yang tidak dapat disanggah dan disangkal lagi, untuk itu harus dikenakan kepadanya konsekwensi hukum karena kekafiran dan riddah (keluar dari Islam), sesuai dengan prinsip “hukum itu dinyatakan ada atau tidak ada mengikuti ilat (alasan) nya”.

Tidak ada komentar