Adab Berbicara



Adab Berbicara
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Dari Maimun bin Mihran, ia berkata: ‘Seorang laki laki datang kepada Salman al-Farisi radhiyallalhu ‘anhu seraya berkata: ‘Berilah nasehat kepadaku. Ia (Salman radhiyallalhu ‘anhu) berkata: ‘Janganlah engkau berbicara.’ Ia menjawab: ‘Orang yang hidup di tengah masyarakat tidak mampu untuk tidak berbicara.’ Ia (Salman radhiyallalhu ‘anhu) berkata: ‘Jika engkau berbicara, berbicaralah dengan benar atau diam.’ Ia berkata: ‘Tambahlah nasehatmu.’
Ia (Salman radhiyallalhu ‘anhu) berkata: ‘Janganlah engkau marah.’ Ia menjawab: ‘Sesungguhnya aku tidak mampu untuk menahan diri dari sesuatu yang berada di sekitarku. Ia berkata: ‘Jika engkau marah maka tahanlah lisan dan tanganmu.’ Ia berkata: ‘Tambahlah nasehatmu.’
Ia (Salman radhiyallalhu ‘anhu) berkata: ‘Janganlah engkau bergaul dengan manusia.’ Ia menjawab: ‘Orang yang hidup di tengah masyarakat tidak mampu menghidar dari mereka.’ Ia (Salman radhiyallalhu ‘anhu) berkata: ‘Jika engkau tidak mampu maka jujurlah dalam bicara dan tunaikan amanah.’[1]
Dari Mu’azd bin Sa’id, ia berkata:  ‘Kami berada di sisi Atha’ bin Abi Rabah, maka seorang laki-laki berbicara tentang sesuatu, lalu yang lain menyela pembicaraannya. Atha’ berkata: ‘Maha suci Allah, akhlak apakah ini? Akhlak seperti apakah ini? Sungguh aku sedang mendengarkan pembicaraan dari seseorang yang aku lebih mengetahui darinya, maka aku memperlihatkan kepadanya bahwa aku tidak melakukan kebaikan sedikitpun darinya.’[2]
Dari Utsman bin Aswad, ia berkata: ‘Aku berkata kepada Atha`: Seorang laki-laki melewati suatu kaum, maka sebagian mereka menuduhnya (melakukan zina), apakah ia mengabarkannya? Ia menjawab: ‘Tidak, majelis adalah amanah.’[3]
Dari Khalaf bin Tamim, ia berkata: Abdullah bin Muhammad menceritakan kepada kami. Dari Auza’i, ia berkata: Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada kami, tidak ada yang ingat selain aku dan Makhul: ‘Ammad ba’du, sesungguhnya siapa yang banyak mengingat mati niscaya ia ridha yang sedikit dari dunia dan siapa yang menghitung ucapannya dari perbuatannya niscaya sedikit ucapannya kecuali yang bermanfaat, wassalam.’[4]
Dari Ya’la bin Ubaid, ia berkata: Kami mengunjungi Muhammad bin Suqah, ia berkata: ‘Saya akan menceritakan kepada kalian satu pembicaraan semoga bermanfaat, karena ia bermanfaat untuk-ku. Kemudian ia berkata: ‘Atha bin Abi Rabah berkata kepada kami: Wahai keponakanku, sesungguhnya orang yang hidup sebelum kalian membenci ucapan yang sia-sia, mereka menghitung ucapan mereka yang tidak berguna selain Kitabullah (al-Qur`an) yang engkau baca,  amar ma’ruf atau nahi munkar, atau engkau menuturkan kebutuhan hidupmu yang sudah menjadi keharusan. Apakah kalian mengingkari bahwa bagi kalian ada malaikat-malaikat  yang mengawasi pekerjaanmu, yang mulia di sisi Allah ta’ala, yang mencatat pekerjaan pekerjaan itu, yang satu berada di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri, tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada malaikat yang selalu hadir di dekatnya? Apakah tidak merasa malu seseorang dari kalian bahwa jika dibuka catatan amalnya yang dibacakan di permulaan siangnya, maka sesungguhnya kebanyakan yang ada padanya adalah sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan urusan agama dan dunianya.’[5]
Faidh bin Watsiq berkata: Aku mendengar Fudhail berkata: ‘Jika engkau mampu agar tidak menjadi pembawa berita, tidak menjadi pembaca dan tidak menjadi pembicara. Jika engkau seorang ahli berbicara, mereka akan berkata: Alangkah bagus kata katanya, alangkah indah ucapannya, alangkah baik suaranya. Maka hal itu membuat engkau ujub (merasa bangga) lalu engkau merasa besar. Dan jika engkau tidak pandai berbicara dan suara tidak baik, mereka akan berkata: Kata-katanya tidak bagus, ucapannya tidak enak, suaranya tidak baik, maka hal itu menyakitkan hatimu dan memberatkan engkau, maka engkau menjadi riya. Apabila engkau duduk ingin berbicara, maka engkau tidak perduli dengan orang yang mencelamu atau memujimu maka berbicaralah.’[6]
Ditanyakan kepada Fudhail bin Iyadh: Apakah zuhud itu? Ia menjawab: ‘Qana’ah.’ Ditanya lagi: Apakah wara’ itu? Ia menjawab: ‘Menjauhi yang diharamkan.’ Ditanya lagi: Apakah ibadah itu? Ia menjawab: ‘Menunaikan ibadah.’ Ditanya lagi: Apakah tawadhu’ itu? Ia menjawab: ‘Engkau tunduk terhadap kebenaran.’ Dan ia berkata menambahkan: ‘Wara’ yang terberat adalah pada lisan.’
Adz-Dzahabi berkata: ‘Seperti inilah dia. Terkadang engkau melihat seorang laki laki yang wara’ pada makanan, pakaian dan muamalahnya, dan apabila berbicara maka orang akan terkagum-kagum dengan pembicaraannya. Bisa jadi ia berusaha jujur maka ia tidak bisa menyempurnakan kejujuran. Dan bisa jadi ia jujur, lalu memperindah ucapannya agar dipuji kefasihannya. Dan bisa jadi ia menampakkan yang terbaik agar di hormati. Dan bisa jadi ia diam di saat harus berbicara agar disanjung. Dan obat semua itu adalah memutuskan hubungan dengan manusia kecuali dari jama’ah.[7]
Ahmad bin Abil Hawari berkata: Abu Abdillah al-Anthaky berkata: Fudhail dan Tsaury rahimahumallah berkumpul dan mudzakarah, lalu Sufyan merasa terharu dan menangis, kemudian ia berkata: ‘Saya berharap majelis ini akan menjadi rahmat dan berkah terhadap kita.’ Fudhail berkata kepadanya: ‘Akan tetapi saya, wahai Abu Abdillah, merasa khawatir bahwa ia akan lebih membahayakan diri kita. Bukanlah engkau berusaha untuk berbicara sebaik mungkin dan aku berusaha untuk berbicara sebaik mungkin, maka engkau menghiasi ucapanmu kepadaku dan aku menghiasi ucapanku kepadamu? Lalu Sufyan menangis dan berkata: ‘Engkau memberi kehidupan baru kepadaku semoga Allah memberi kehidupan baru kepadamu.’[8]
Dari Abu Bakar bin Ayyasy, ia berkata: ‘Sekurang-kurangnya manfaat diam adalah selamat dan cukuplah itu sebagai afiyat, dan sekurang-kurangnya bahaya berbicara adalah menjadi terkenal dan cukuplah ia sebagai bala.’[9]
Dari Ubabah bin Kulaib, ia berkata: Aku mendengar Ibnu Samak berkata: ‘Binatang buasmu berada di antara dua rahangmu (lisan) yang memakan setiap orang yang melewatimu, engkau telah mengganggu para tetangga di perkampungan, sampai akhirnya engkau mengganggu para penghuni kubur. Maka engkau tidak merasa berduka untuk mereka sedangkan jasad mereka telah hancur di kubur, dan engkau di sini mengbangkitkan mereka. Sesungguhnya sudah sepantasnya tiga perkara menunjukkan engkau untuk meninggalkan berbicara terhadap saudaramu: Adapun yang pertama, barangkali engkau menyebutkan dia dengan perkara yang dia ada padamu, maka bagaimana dugaanmu pada Rabb-mu apabila engkau menyebutkan saudaramu satu perkara yang juga ada pada dirimu? Barangkali engkau menyebutkan dia satu perkara yang pada dirimu lebih besar darinya, maka hal itu lebih memberatkan murka-Nya kepadamu. Dan barangkalai engkau menyebutkan dia satu perkara yang Allah ta’ala telah menghindarkan engkau darinya, maka ini adalah balasannya saat Dia menyelamatkan engkau. Apakah engkau tidak mendengar ungkapan: Sayangilah saudaramu dan pujilah Allah ta’ala yang telah mengafiyatkan engkau.?[10]
Bakar bin Munir berkata: Aku mendengar Abu Abdillah al-Bukhari berkata: ‘Aku berharap bertemu Allah ta’ala dan Dia tidak menghisabku bahwa aku pernah mengghibah (menggunjing) seseorang.’
Adz-Dzahaby berkata: ‘Dia benar –semoga Allah ta’ala memberi rahmat kepadanya-, siapa yang memperhatikan ucapannya dalam bidang jarh dan ta’dil, niscaya ia mengetahui sikap wara’nya dalam membicarakan manusia dan sikap moderatnya terhadap orang yang dia anggap dha’if (lemah) dalam riwayat hadits. Dia sering mengatakan: Munkar dalam hadits, mereka (ahli hadits) diam darinya, padanya perlu ditinjau kembali, dan semisal ungkapan yang demikian itu. Jarang sekali ia berkata: fulan pendusta, atau ia memalsukan hadits, sehingga ia berkata: ‘Apabila aku berkata: Fulan dalam hadits perlu ditinjau kembali’, maka ia seorang yang tertuduh lagi lemah dalam riwayat hadits. Dan inilah maksud ucapannya: ‘Dan semoga Allah ta’ala tidak menghisabku bahwa aku pernah menggunjing seseorang.’ Demi Allah, inilah puncak wara’.[11]
Dari Sahl bin Abdullah at-Tastary, ia berkata: Di antara akhlak para shiddiqin bahwa ia tidak bersumpah karena Allah ta’ala, ia tidak menggunjing, tidak digunjing orang lain, tidak kenyang, apabila berjanji tidak menyalahi, dan tidak bercanda sama sekali.[12]


[1] Sifat Shafwah 1/549.
[2] Sifat Shafwah 2/214
[3] Referensi yang sama.
[4] Siyar A’lam Nubala` 5/133.
[5] Sifat Shafwah 2/213.
[6] Siyar A’lam Nubala 8/433.
[7] Siyar 8/434
[8] Siyar 8/439.
[9] Siyar 8/501.
[10] Sifat Shafwah 3/176.
[11] Siyar 12/439-441.
[12] Siyar 13/332.

Tidak ada komentar