Kapan Kesyirikan Dimulai?



Kapan Kesyirikan Dimulai?
Segala puji hanya bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla, kami memuji -Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada -Nya, kami berlindung kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang   -Dia beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang -Dia sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Shubhanahu wa ta’alla semata, yang tidak ada sekutu bagi -Nya. Dan aku juga bersaksi bahwasannya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul -Nya. Amma Ba'du. Sesungguhnya diantara perkara yang menjadi kesepakatan bersama bahwa awal mula kesyirikan yang terjadi dikalangan makhluk adalah kesyirikan yang dilakukan setan. Sebagaimana dinukil oleh para ulama, Berkata al-Hafidh Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya ketika menjelaskan firman Allah tabaraka wa ta'ala:

﴿ وَمَن يَقُلۡ مِنۡهُمۡ إِنِّيٓ إِلَٰه مِّن دُونِهِۦ فَذَٰلِكَ نَجۡزِيهِ جَهَنَّمَۚ ٢٩ ﴾ [الأنبياء: 29]
"Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan: "Sesungguhnya aku adalah Tuhan selain daripada Allah", Maka orang itu Kami beri Balasan dengan Jahannam". (QS al-Anbiyaa': 29).
Imam Ibnu Juraij menjelaskan, "Barangsiapa yang mengatakan dari kalangan para malaikat, sesungguhnya aku adalah ilah selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, maka tidak ada yang mengucapkan perkataan semacam itu kecuali Iblis, mengajak pengikutnya untuk menyembah dirinya, maka turunlah ayat ini yang  menjelaskan tentang kelancangan Iblis".
Imam Qatadah mengatakan, "Ayat ini berbicara khusus tentang musuh Allah Shubhanahu wa ta’alla yang bernama Iblis, tatkala mengucapkan apa yang dia katakan tadi sehingga Allah Shubhanahu wa ta’alla melaknatnya, dan menjadikan dirinya terkutuk".[1]
Sedang Imam Dhahak menjelaskan firman Allah ta'ala diatas tadi, "Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan". Yakni dari kalangan para malaikat sesungguhnya aku adalah ilah selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, beliau mengatakan, "Tidak ada seorangpun malaikat yang mengatakan seperti itu kecuali Iblis, yang mengajak makhluk untuk menyembah dirinya dan memprakasai kekafiran".[2] Inilah awal mula kesyirikan yang terjadi dikalangan makhluk, jika demikian lalu kapan awal mula kesyirikan terjadi ditengah-tengah bani Adam? Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini menjadi beberapa pendapat, diantaranya:
Pendapat pertama: Sesungguhnya kesyirikan perdana yang terjadi dikalangan bani Adam bermula dari Qabil, seperti dijelaskan dalam sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Thabari dalam kitab Tarikhnya yang mengatakan hal tersebut. Yaitu, dikisahkan bahwa tatkala Qabil telah membunuh saudaranya Habil, dirinya langsung melarikan diri dari ayahnya Adam menuju negeri Yaman. Sesampainya disana dirinya disambangi Iblis sambil mengatakan padanya, 'Sesungguhnya persembahan Habil di terima oleh Allah dan dimakan oleh api disebabkan dirinya dulu mengabdi kepada api dan menyembahnya, maka lakukankah hal yang sama seperti dirinya, buat tungku api untukmu dan anak keturunanmu". Lalu Qabil membikin tempat khsusus untuk api, dan dialah pionir yang membikin tungku api lalu menyembahnya".[3]
Pendapat ini, sebagaimana kita lihat di nukil oleh Imam Thabari tanpa menyebut mata rantai sanad, dimana beliau langsung mengatakan, 'Dikisahkan', dengan ungkapan yang digantung tanpa memastikan kebenarannya. Yang menunjukan kalau riwayat ini lemah menurut pendapat beliau, dan memang benar riwayat ini adalah lemah, sebagaimana akan datang penjelasnnya yang menyelisihi hal ini menurut pendapat yang benar.

Pendapat kedua: Sesungguhnya awal mula kesyirikan dimulai dari zamannya Yarid bin Mahla'il, bapaknya nabi Idris a'laihi sallam, seperti dikisahkan oleh Ibnu Jarir lagi dalam kitab Tarikhnya. Beliau mengatakan, "Telah menceritakan padaku al-Harits, dia berkata telah menceritakan kepada kami Sa'ad, dirinya berkata telah mengabarkan padaku Hisyam, dirinya berkata telah mengabarkan padaku bapak ku dari Abu Sholeh dari Ibnu Abbas, beliau berkata, "Pada zamannya Yarid patung dan berhala di produksi, maka ada yang kembali dari agama yang lurus (murtad)".[4]
Namun, didalam sanad ini ada perawi yang bernama Hisyam bin Muhammad bin Sa'ib al-Kalbi dari bapaknya, dan keduanya adalah perawi yang lemah bahkan dikatakan dirinya perawi yang tertuduh sehingga tidak bisa di terima riwayatnya.[5] Terlebih, riwayat ini menyelisihi riwayat yang shahih –sebagaimana akan datang- lalu al-Kalbi di sini meriwayatkan tafsir dari Abu Sholeh[6] dari Ibnu Abbas, sedangkan Abu sholeh ini tidak pernah meriwayatkan sedikitpun dari sahabat Ibnu Abbas, dia tidak pernah mendengar satupun hadits darinya, begitu juga al-Kalbi tidak pernah mendengar dari Abu Sholeh melainkan beberapa huruf saja darinya, dan apa yang di riwayatkan oleh al-Kalbi tidak layak untuk di nukil dalam sebuah kitab, lantas bagaimana mungkin bisa di jadikan sebagai hujah. Artinya, riwayat ini tidak bisa dijadikan sebagai argumen.[7]
Pendapat ketiga: Sesungguhnya awal mula kesyirikan yang terjadi ditengah-tengah anak cucu Adam bermula dari anak keturunannya Qabil.
Dan yang menunjukan akan hal tersebut adalah sebuah riwayat dari Ibnu al-Kalbi dalam bukunya al-Ashnam. Beliau menceritakan, telah mengabarkan padaku bapak ku, dia berkata, "Pertama kali berhala di sembah tatkala nabi Adam meninggal dunia, yang dibuat oleh anaknya bani Syitsa bin Adam di sebuah gua yang berada diatas gunung yang dijadikan sebagai persinggahan Adam ketika turun dari langit di negeri India".
Kemudian, di riwayatkan dari bapaknya dari Abu Sholeh dari Ibnu Abbas, beliau berkata, "Lalu Bani Syitsa mendatangkan jasad nabi Adam dalam gua kemudian mereka mengagungkan dan memuliakannya. Lalu ada seseorang dari bani Qabil bin Adam yang mengusulkan, 'Wahai bani Qabil! Sesungguhnya bani Syitsa telah mengagungkan dan berkeliling di sekitarnya, lantas kenapa kalian diam saja tidak berbuat apa-apa? Maka dirinya membuat patung kakeknya nabi Adam untuk mereka, dan dia lah pionir yang melakukan kesyirikan".[8]
Dan riwayat ini juga bersumber dari Hisyam bin Muhammad bin Sa'ib al-Kalbi dari bapaknya, dan bapaknya meriwayatkan dari Abu Sholeh dari Ibnu Abbas. Sebagaimana riwayat diawal tadi disebutkan beberapa kritikan maka riwayat ini juga hampir sama yang saya pikir tidak perlu mengulangnya kembali. Namun, kita nukilkan di sini untuk menjelaskan bahwa riwayat ini sangat lemah. 
Pendapat keempat: Sesungguhnya awal mula kesyirikan yang terjadi di tengah-tengah anak cucu Adam bermula pada kaumnya nabi Nuh. Pendapat ini berdalil dengan beberapa dalil diantaranya;
1.     Firman Allah tabaraka wa ta'ala:

﴿ وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّا وَلَا سُوَاعا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسۡرا ٢٣﴾ [ نوح: 23 ]
"Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr".  (QS Nuh: 23).

Yang menunjukan bahwa nama-nama tersebut yang tercantum dalam ayat adalah kaumnya nabi Nuh ialah hadits-hadits yang menjelaskan hal tersebut dalam tafsir ayat ini. Diantara yang paling masyhur adalah riwayat yang dibawakan oleh Imam Bukhari didalam kitab Shahihnya dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma. Disebutkan, 'Nama-nama ini adalah orang-orang sholeh dari kalangan kaumnya nabi Nuh, tatkala mereka meninggalkan maka setan mewahyukan kepada kaumnya untuk membikin prasasti tepat diatas majelis yang biasa mereka jadikan sebagai tempat untuk mengajar lalu memberi nama sesuai dengan tempat duduknya masing-masing, lalu mereka pun menuruti perintahnya, dan kondisinya belum sampai di sembah. Hingga tatkala generasi tadi meninggal dunia dan hilangnya ilmu di situlah pertama kali patung tadi di sembah'.[9]
Dan sebagaimana di keluarkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari didalam tafsirnya beliau mengatakan, "Mereka adalah orang-orang yang sholeh yakni –Yaghuts, Ya'uq,….- yang hidup pada generasi setelah nabi Adam dan nabi Nuh. Dan mereka mempunyai murid-murid yang senantiasa mengikutinya, tatkala orang-orang sholeh tadi meninggal dunia, berkata salah seorang muridnya yang biasa mengikuti pengajiannya kepada mereka, 'Bagaimana kalau sekiranya kita bikin gambar mereka agar membuat kita lebih termotivasi untuk beribadah manakala melihatnya'.
Lantas mereka pun membikin gambar orang-orang sholeh tadi, tatkala generasi tersebut meninggal lalu datang generasi berikutnya, datanglah Iblis mendorong mereka sambil berkata, 'Sesungguhnya generasi sebelum kalian menyembahnya, dan mereka biasa meminta hujan padanya'. Setelah itu mereka menyembahnya".[10]
Imam Ibnu Qoyim menjelaskan, "Telah berkata, bukan hanya seorang dari ulama salaf, tatkala orang-orang sholeh tadi meninggal maka kaumnya berdiam diri disebelah kuburanya, kemudian mereka membikin reliefnya, hingga beberapa abad lamanya, lalu pada akhirnya mereka disembah".[11]
2.     Dalil kedua yang dijadikan sebagai landasan pendapat ini ialah firman Allah tabaraka wa ta'ala:

﴿كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّة وَٰحِدَة فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ٢١٣﴾ [البقرة:213]
"Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan". (QS al-Baqarah: 213).
Akan menjadi jelas sisi pengambilan dalil ayat ini bila anda mau merujuk kepada buku-buku tafsir yang menjelaskan tentang ayat ini. dan sebelumnya telah kami singgung sedikit diantaranya.
3.     Dalil berikutnya yang menguatkan pendapat ini ialah atsar yang dibawakan oleh Ibnu Jarir dengan sanadnya hingga sampai pada sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Jarak antara nabi Adam dengan nabi Nuh sepuluh masa, seluruh umatnya berada pada syariat yang benar, selanjutnya terjadi perselisihan, maka Allah Shubhanahu wa ta’alla mengutus para Nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan".
4.     Ucapan Imam Qatadah yang mengatakan, "Dikisahkan kepada kami bahwa jarak antara nabi Adam dan nabi Nuh 'alihima sallam sepuluh masa, semuanya berada diatas petunjuk dan syariat yang benar. Selanjutnya terjadi perselisihan, maka Allah Shubhanahu wa ta’alla mengutus nabi Nuh, dan beliau adalah rasul pertama yang di utus untuk penduduk bumi".
5.     Juga diriwayatkan dari Ikrimah berkata, "Jarak antara nabi Adam dan nabi Nuh sepuluh masa, seluruhnya berada di atas agama Islam".[12]
Inilah Pernyatan-pernyataan yang valid dari para ulama salaf yang menjelaskan kapan awal mula terjadinya kesyirikan di umat bani Adam. Dan ini merupakan pendapat yang terpilih dan yang paling kuat, bahwa awal mula kesyirikan terjadi pada umatnya nabi Nuh, dan sebelumnya umat manusia berada diatas agama yang lurus. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal dalam masalah ini dimana ada ulama yang berpendapat bahwa awal mula kesyirikan terjadi pada zamannya nabi Adam 'alaihi sallam, berdalil dengan firman Allah ta'ala:

﴿هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡس وَٰحِدَة وَجَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا لِيَسۡكُنَ إِلَيۡهَاۖ فَلَمَّا تَغَشَّىٰهَا حَمَلَتۡ حَمۡلًا خَفِيفا فَمَرَّتۡ بِهِۦۖ فَلَمَّآ أَثۡقَلَت دَّعَوَا ٱللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنۡ ءَاتَيۡتَنَا صَٰلِحا لَّنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ ١٨٩ فَلَمَّآ ءَاتَىٰهُمَا صَٰلِحا جَعَلَا لَهُۥ شُرَكَآءَ فِيمَآ ءَاتَىٰهُمَاۚ فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ١٩٠﴾ [ الأعراف: 189-190 ]
"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya -Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan". (QS al-A'raaf: 189-190).

Sesungguhnya disebutkan dalam penjelasan tafsir ayat diatas beberapa atsar dari sebagian ulama salaf yang meragukan adanya kesyirikan pada zamannya nabi Adam 'alaihi sallam, seperti mereka menyebutkan;
·       Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari al-Hasan[13] dari Samurah[14] dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لما ولدت حواء طاف بها إبليس - وكان لا يعيش لها ولد- فقال: سميه عبد الحارث فإنه يعيش فسمته عبد الحارث فعاش وكان ذلك من وحي الشيطان وأمره » [أخرجه أحمد والترمذي وغيرهما]
"Manakala Hawa melahirkan serta merta Iblis mengelilinganya –Dan sebelumnya anak yang dia lahirkan selalu meninggal- lantas Iblis berpesan, "Berilah nama pada anak ini Abdul Harits, niscaya dirinya tidak mati". Selanjutanya Hawa pun memberi nama anaknya yang baru lahir tadi Abdul Harits, dan betul anak itu hidup. Dan kejadian itu berawal dari wahyu setan dan atas perintahnya".[15]
Inilah satu-satunya hadits yang disandarkan kepada Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini.
                Al-Hafidh Ibnu Katsir mengomentari hadits ini dengan mengatakan, "Demikian pula hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Muhammad bin Bitsar Bandar dari Abdu Shamad bin Abdul Harits. Begitu juga dibawakan oleh Tirmidzi[16] dalam tafsir ayat ini, dari jalur Muhammad bnin al-Mutsana dari Abdu Shamad. Dan beliau menyatakan, 'Hadits ini hasan gharib, dan kami tidak mengetahui melainkan dari haditsnya Umar bin Ibrahim". Hadits ini juga diriwayatkan oleh sebagian ulama dari jalur Abdu Shamad secara terputus.
Dan diriwayatkan oleh al-Hakim[17] didalam kitab Mustadraknya dari Abdu shamad secara marfu', kemudian diakhir hadits beliau mengatakan, "Hadits ini sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim". Dan diriwayatkan oleh Imam Abu Muhammad Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya dari Abu Zura'ah ar-Razi dari Hilal bin Fiyadh daru Umar bin Ibrahim secara marfu'.Begitu juga dibawakan oleh al-Hafidh Abu Bakar bin Mardawaih[18] didalam tafsirnya dari haditsnya Syaadz bin Fiyadh dari Umar bin Ibrahim secara marfu'.
Saya berkata –Imam Ibnu Katsir-" Syaadz ini adalah Hilal sedangkan nama Syaadz merupakan julukannya".[19]
·       Atsar dari sebagian sahabat, Diantaranya:
a.     Diriwayatkan dari Ibnu Abbas beberapa redaksi semisal riwayat dimuka tadi, melalui beberapa jalur, seperti:
i.       Melalui jalur Muhammad bin Ishaq bin Yasar dari Dawud bin al-Hushain dari Ikrimah dari beliau[20]. Namun, sanad ini tidak mulus sehingga tidak diterima oleh pakar hadits, sebab penyakitnya, setiap riwayat yang dibawa oleh Dawud bin al-Hushain dari Ikrimah maka riwayatnya adalah munkar, bahkan sebagian ulama hadits menyatakan lemah.[21]
ii.     Jalur kedua melalui Abdullah bin Mubarak dari Syuraik dari Khashif dari Sa'id bin  Jubair dari Ibnu Abbas[22]. Tapi, didalam sanad ini ada rawi yang bernama Khasif dan dia adalah perawi yang lemah[23]. Dan Syuraik juga perawi yang bercampur hafalannya[24]. Sehingga riwayat dengan sanad ini tidak shahih.
iii.    Redaksi yang dibawakan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, beliau berkata, 'Telah menceritakan kepada saya Muhammad bin Sa'ad, dia berkata telah menceritakan padaku bapak ku, dia berkata telah menceritakan padaku pamanku, dirinya berkata telah menceritakan padaku ayahku dari ayahnya dari Ibnu Abbas[25]. Lalu menyebutkan riwayat diatas. Inilah mata rantai sanad yang sudah tercium sekali kelemahannya, sehingga riwayat ini dikenal karena kelemahannya dari tafsir yang disandarkan kepada Ibnu Abbas.[26]
iv.    Redaksi yang dibawakan oleh ath-Thabari melalui jalur al-Qosim berkata, telah menceritakan kepada kami al-Husain dia berkata telah menceritakan kepada kami Hajaj dari Ibnu Juraij dia berkata, Ibnu Abbas mengatakan, lalu disebutkan sama dengan riwayat diatas. Tapi, atsar ini terputus dan lemah. Karena rawi yang bernama Hajaj bin Arthaah perawi yang lemah, dan Ibnu Juraij tidak pernah bertemu dengan Ibnu Abbas.
b.     Didalam masalah ini ada riwayat yang dibawakan melalui jalur Ubai bin Ka'ab semisal dengan redaksi di atas. Dan di riwayatkan dari Ibnu Abbas dari beliau. Imam Ibnu Katsir mengomentari, "Secara keseluruhan atsar ini diterima dari Ibnu Abbas oleh para sahabat-sahabatnya. Semisal Mujahid, Sa'id bin Jubair dan Ikrimah. Diantara yang setuju dari kalangan Thabaqah tsaniyah adalah Qatadah dan as-Sudi, dan masih banyak lagi dari kalangan ulama salaf dan sekumpulan para ulama khalaf. Dan dari para ulama tafsir yang datang belakangan yang tidak bisa dihitung banyaknya.
Sepertinya wallahu a'lam pokok isi redaksi hadits ini diambil dari ahli kitab, sebab Ibnu Abbas juga meriwayatkan dari Ubai bin ka'ab sebagaimana di dalam redaksinya Ibnu Abi Hatim.."[27].
                Kesimpulannya atsar ini sebagaimana nampak -wallahu 'alam- adalah atsar yang berasal dari ahli kitab. Dan telah shahih dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam perintah untuk tidak membenarkan kabar yang dibawa oleh ahli kitab sebagaimana juga tidak boleh mendustakannya. Kemudian berita yang mereka sampaikan kepada kita ada tiga macam. Ada yang kita ketahui akan kebenaran kisah tersebut melalui dalil dari al-Qur'an maupun Sunah Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan hal tersebut. Yang kedua, kita tidak mengetahui kedustaanya yang menyelisihi al-Qur'an dan Sunah, dan yang ketiga, yang didiamkan kisahnya, dan kategori ini di bolehkan dalam penukilan.[28]
Dan atsar ini - yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas-  mari kita coba padukan dengan tiga klasifikasi diatas, apakah ada dalil yang mendukungnya dari al-Qur'an dan sunah Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam atau tidak? Pada kenyataannya, bahwa hal ini merupakan bagian dari sahnya hadits yang di riwayatkan oleh Samurah bin Jundub radhiyallahu 'anhu dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, atau justru menegaskan akan kelemahannya. Yakni haditsnya Samurah, "Manakala Hawa melahirkan serta merta Iblis mengelilinganya….".
                                Para ulama pakar hadits dalam menjelaskan hadits ini menjadi dua kubu yang saling kontradiksi:
Kubu pertama menyatakan bahwa hadits ini shahih. Selanjutnya mereka berusaha untuk mentakwil makna hadits agar tidak sampai menisbatkan awal mula kejadian syirik pada Adam 'alaihi sallam.
Kubu kedua, mereka melemahkan hadits tersebut. Kemudian mereka menafsirkan ayat sesuai dengan pemahaman bahasa Arab yang masih lurus, dan didukung dengan atsar yang disebutkan berkaitan dengan masalah ini.
                Adapun kubu pertama yang menganggap bahwa haditsnya adalah shahih, maka mereka berusaha menjawab argumen yang dibawakan oleh kubu kedua, dengan beberapa argumen, yaitu:
1.     Bahwa diri yang satu dan istrinya yang dimaksud ialah Adam dan Hawa. Adapun kesyirikan yang terjadi dari keduanya maka bukan kesyirikan dalam ibadah, tapi, kesyirikan dari segi memberi nama, yaitu, manakala keduanya memberi nama anaknya Abdul Harits, sedangkan al-Harits adalah nama bagi Iblis. Sedangkan Adam dan istrinya Hawa sama sekali tidak meyakini tatkala memberi nama anaknya Abdul Harits kalau al-Harits adalah rabb keduanya[29].
Keterangan semacam ini juga di nyatakan oleh sebagian ulama tafsir, semisal Ibnu Jarir yang membenarkan pendapat ini, sebagaimana di kuatkan pula oleh ulama lainnya. Lantas mereka membawakan beberapa atsar dari salaf yang mendukung pendapatnya tersebut. Seperti di riwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, "Dirinya (nabi Adam) berbuat kesyirikan dengan mentaati usulan Iblis, bukan kesyirikan dari sisi peribadatan kepadanya. Beliau tidak berbuat syirik kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, namun, dirinya mentaati Iblis dalam hal tersebut".[30] Di nukil dari Qatadah, beliau menjelaskan, "Sehingga hal tersebut terhitung sebagai kesyirikan dari segi ketaatan padanya, bukan yang dimaksud kesyirikan dari sisi peribadatan kepada Iblis".
Juga dibawakan sebuah atsar dari Sa'id bin Jubair, dijelaskan, "Beliau pernah ditanya, 'Apakah Adam berbuat kesyirikan? Beliau menjawab, "Aku berlindung dari Allah Shubhanahu wa ta’alla kalau sampai menuduh nabi Adam berbuat kesyirikan. Akan tetapi, istrinya Hawa tatkala melahirkan di datangi oleh Iblis, lalu mengatakan padanya, 'Dari mana keluar bayi ini, dari hidungmu atau mata atau mulutmu? Lalu Iblis membikin Hawa berputus asa. Selanjutnya dia mengatakan padanya, 'Bagaimana menurutmu kalau keluar secara bersamaan apakah kamu mau mentaatiku? Hawa menjawab, 'Ia'. Iblis melanjutkan, 'Berilah nama pada anakmu ini dengan Abdul Harits. Hawa pun mematuhinya…jadi kesyirikan yang terjadi hanya dari segi memberi nama semata bukan dalam peribadatan kepadanya".[31]
Di nukil dari as-Sudi[32], berkata; "..Hal tersebut tatkala Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan dalam firman -Nya:

﴿جَعَلَا لَهُۥ شُرَكَآءَ فِيمَآ ءَاتَىٰهُمَاۚ ١٩٠﴾[ الأعراف: 190 ]
"Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". (QS al-A'raaf: 190).

Beliau menjelaskan, yakni menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dari sisi memberi nama".[33]
Dan yang mendukung hal ini ialah salah satu Qiro'ah dalam ayat ini yang dibaca:
﴿ جَعَلَا لَهُۥ شِرْكًا فِيمَآ ءَاتَىٰهُمَاۚ ١٩٠ ﴾ [ الأعراف: 190 ]
Yang mengandung makna persekutuan, yaitu dari segi penamaan.[34]

Sampai kiranya pemilik pendapat ini merasa perlu membentengi diri demi membantah pendapat pertama yang menentang keabsahan hadits dengan mengatakan, bahwa firman Allah tabaraka wa ta'ala:

﴿ فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ١٩٠ ﴾ [ الأعراف: 190 ]
"Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan". (QS al-A'raaf: 190).

Ayat ini memberi faidah bahwa orang-orang yang melakukan kesyirikan cukup banyak, karena dalam ayat digunakan kata ganti mereka (yusyrikuun), yang menunjukan lebih dari dua orang. Karena, jika seandainya yang melakukan kesyirikan hanya Adam dan Hawa niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla mengatakan, 'Maha Tinggi Allah dari apa yang kedunya persekutukan".
Mereka juga beranggapan bahwa didalam dua ayat diatas sejatinya sedang mengkisahkan dua kejadian yang berbeda yaitu kisahnya Adam dan istrinya Hawa, dan berita tersebut selesai pada potongan ayat:

﴿ جَعَلَا لَهُۥ شُرَكَآءَ فِيمَآ ءَاتَىٰهُمَاۚ ١٩٠ ﴾ [ الأعراف: 190 ]
"Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". (QS al-A'raaf: 190).

Dan dilanjutkan dengan kisah kaum musyrikin Arab, dan kisah tersebut ada pada potongan ayat berikutnya yakni:

﴿ فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ١٩٠ ﴾ [ الأعراف: 190 ]
"Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan". (QS al-A'raaf: 190).

Makna ayat ini, Maha Tinggi Allah Shubhanahu wa ta’alla dari apa yang mereka, orang-orang Arab persekutukan dari peribadatan kepada patung dan berhala.
Mereka memenggal dengan menjadikan dua kejadian yang berbeda berdasarkan beberapa atsar, diantaranya yang diriwayatkan oleh as-Sudi didalam tafsir firman Allah ta'ala:

﴿ فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ١٩٠ ﴾ [ الأعراف: 190 ]
"Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan". (QS al-A'raaf: 190).

Beliau menjelaskan, "Ini adalah pembatas dari ayat yang berkaitan dengan Adam secara khusus dalam perkara sesembahan yang dimiliki oleh kaum musyrikin".
Di nukil pula dari beliau, dimana beliau mengatakan, "Ini merupakan batasan terakhir sebagai pemisah. Firman Allah ta'ala yang artinya, "Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". Ayat ini berkaitan dengan nabi Adam dan istrinya Hawa, kemudian firman Allah Shubhanahu wa ta’alla selanjutnya, yang artinya: "Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan". Beliau menegaskan, "Dari kesyirikan yang dilakukan oleh kaum musryikini, bukan yang dimaksud dalam ayat nabi Adam dan Hawa".[35]  Atsar ini juga dijumpai dalam tafsirnya Ibnu Abi Hatim[36].
Sanggahan pendapat ini: Nabi Adam dan istrinya Hawa, keduanya hanya memberi nama anaknya Abdul Harits, sedangkan al-Harits terhitung satu. Dan firmannya Allah tabaraka wa ta'ala, (شركاء) Dengan bentuk kata ganti mereka yang menunjukan banyak. Lantas bagaimana Allah ta'ala mensifati keduanya bahwa keduanya yang menjadikan sekutu yang banyak bagi -Nya. Dan keduanya hanya mempersekutukan sekali?
Para ulama menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan, "Sesungguhnya orang Arab menyebut satu berita dengan menjadikan beritanya berkelompok jika mereka tidak mempunyai maksud tertentu pada orangnya dan ketika mereka tidak ingin menyebutkan siapa namanya. Seperti halnya dijumpai dalam firman Allah ta'ala yang lainnya:
﴿ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ ١٧٣﴾ [ ال عمران: 173 ]
"(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka". (QS al-Imran: 173).

Didalam ayat diatas yang mengatakan ucapan tersebut hanya satu orang. Akan tetapi, disebutkan dalam kisah tersebut dengan bentuk kata ganti yang menunjukan banyak, tatkala tidak ditunjuk secara langsung siapa yang dimaksudkan. Dan hal ini banyak di jumpai dalam ucapan dan perkataanya orang Arab ataupun dalam syair-syair mereka".[37]
Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini serta membelanya, dan menganggap haditsnya shahih ialah al-Alusi[38], beliau menyatakan, "Pada hakekatnya ini bukan termasuk kesyirikan. Karena nama-nama orang tidak menunjukan pada pemahamannya secara bahasa, akan tetapi, di katakan sebagai kesyirikan secara garis besar sebagai bentuk celaan yang sangat".[39]
Sebagaimana yang kami pahami dari ucapannya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, dimana beliau menguatkan pendapat ini, ketika beliau menjelaskan tafsir firman Allah tabaraka wa ta'ala:

﴿ فَلَمَّآ ءَاتَىٰهُمَا صَٰلِحا جَعَلَا لَهُۥ شُرَكَآءَ فِيمَآ ءَاتَىٰهُمَاۚ فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ١٩٠ [ الأعراف: 190]
"Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan   -Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan". (QS al-A'raaf: 190).

Beliau menjadikan ayat ini sebagai dalil haramnya beribadah kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla [40].
Sebagaimana Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab juga menguatkan tafsiran ini dalam kitabnya Taisir Azizil Hamid, yang mana beliau mengatakan, "Apabila kita perhatikan secara seksama ucapan penulis dari awal hingga akhir dibarengi dengan tafsiran yang dinukil dari para ulama salaf, niscaya akan menjadi jelas dan terang bahwa hal tersebut terjadi pada nabi Adam dan istrinya Hawa 'alaihima sallam. Dan didalam kisah tersebut sangat banyak dijumpai dalil yang menguatkan pendapat ini.
Yang menakjubkan adanya orang yang mengingkari kisah ini. adapun makna firman Allah ta'ala, yang artinya,  "Dari apa yang mereka persekutukan". Ini, wallahu a'lam, kembali pada kaum musyrikin dari kalangan para pengingkar takdir, dimana Allah ta'ala berpindah dari menyebutkan nama seseorang kemudian melanjutkan dengan menyebut jenis orang tertentu, dan hal ini sangat banyak dijumpai dalam al-Qur'an".[41]
Dikesempatan lain beliau juga menegaskan, "Ucapan ulama, 'Menyekutukan dari sisi mentaati Iblis bukan dari sisi beribadah kepadanya', maksudnya manakala keduanya mentaati Iblis ketika memberi nama anaknya Abdul Harits, bukan karena keduanya beribadah kepada Iblis, sehingga ini sebagai dalil perbedaan antara syirik dalam ketaatan dan syirik peribadatan".[42]
Berkata Syaikh Abdurahman bin Hasan[43], "Dan ucapannya Imam Ibnu Katsir, "Dan asal kisah ini –wallahu a'lam- diambil dari ahli kitab". Saya katakan, "Ini sangat jauh sekali kebenarannya".[44] Dan Syaikh Muhammad Khalil Haras mengatakan tatkala menukil ucapannya Imam Ibnu Katsir, "Begitulah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir…berusaha untuk keluar dari tekstual ayat dan mengingkari hadits serta atsar yang mendukungnya lalu menyandarkan kisah tersebut kepada ahli kitab…kemudian beliau melanjutkan – Berusaha untuk membela Adam dan Hawa, bahwa kesyirikan yang mereka lakukan hanya dari segi memberi nama semata bukan dari segi peribadatan. Dan keduanya melakukan hal tersebut karena kealpaanya bukan secara sengaja, sehingga keduanya pun diperingatkan oleh Allah ta'ala dalam hal tersebut".[45]

2.     Sebagian ulama ada yang mencoba memberi jawaban bahwa dalam kisah tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil atas bolehnya syirik dalam uluhiyah. Akan tetapi, nabi Adam melakukannya karena mengedepankan hawa nafsu lebih condong mentaati perintah Iblis dan menerima bisikannya sambil dibarengi sikap ruju' (kembali) kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla. dan itu semua tidak masuk dalam kategori pilihan, atau kemungkinan kisah itu terjadi sebelum di angkat menjadi nabi.[46]
Tapi, pernyataan diatas yang mengatakan barangkali kejadiannya sebelum diangkat sebagai nabi, perlu dikoreksi, sebab kekafiran tidak mungkin terjadi sampai pun hal tersebut sebelum diangkat menjadi nabi.[47] Lalu pendapat tadi disanggah bahwa kesyirikan yang dilakukan oleh Adam dan Hawa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, dari segi ketaatan mereka berdua kepada Iblis manakala memberi nama anaknya dengan Abdul Harits, sebagaimana jelas dalam kisah tersebut, tentu saja itu belum sampai pada kekafiran. Namun, sebuah dosa yang mungkin saja dilakukan sebelum diangkat menjadi nabi.[48] Dan akan datang sanggahan atas pernyataan ini, tatkala kita sampai pada pembahasan kapan ketaatan kepada selain –Nya dianggap syirik, dan kapan di anggap sebagai dosa besar?
3.     Ada juga ulama yang menjawab dengan mengatakan, 'Bahwa nabi Adam dan istrinya Hawa tidak pernah beranggapan bahwa al-Harits adalah rabbnya dengan sebab memberi nama pada anaknya Abdul Harits, akan tetapi, keduanya beranggapan dengan memberi nama al-Harits menjadi faktor anaknya selamat, oleh karena itu keduanya memberi nama tersebut, sebagaimana orang mengatakan pada dirinya sendiri hamba tamu untuk menjelaskan kalau dirinya sangat menghormati tamunya. Bukan karena punya keyakinan kalau tamunya adalah rabbnya, sebagaimana dikatakan oleh Hatim[49] dalam bait syairnya:
                          Aku adalah hamba tamuku selama memuliakanya
Tidaklah aku dikatakan hamba melainkan dari segi penamaan[50]
Akan tetapi, di sini ada dua pertanyaan mendasar dalam masalah ini:
Pertama: Apakah pengabdian diri kepada selain Allah –walaupun dalam bentuk nama- termasuk perbuatan dosa atau masuk dalam jenis syirik kecil?
Pertanyaan kedua; Taruhlah itu termasuk kesyirikan, apakah hal itu mungkin terjadi dari para nabi?
Jawaban; Adapun pengabdian kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, maka dikatakan oleh Ibnu Hazm[51] dalam pernyataanya, "Para ulama bersepakat atas haramnya memberi nama yang terkandung pengabdian diri kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla. Seperti nama Abdu Amr atau Abdu Ka'bah dan yang semisalnya, kecuali Abdul Muthalib".[52] Hukum ini –sebagaimana nampak jelas- di tinjau dari sisi hukum taklifiyah (hukum halal dan haram), adapun bila ditinjau dari segi dosa apakah perbuatan tersebut termasuk syirik ataukah tergolong dosa besar?
                Terjadi silang pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama mengatakan, 'Sesungguhnya alasan larangan dari pengabdian diri kepada selain Allah ialah karena termasuk perbuatan syirik didalam rububiyah dan uluhiyah. Sebab, seluruh makhluk adalah miliknya Allah dan hambaNya. Lalu Allah menuntut pada mereka untuk beribadah kepadaNya semata, dan mengesakan dalam rububiyah dan peribadatan padaNya, maka pengabdian diri kepada selain Allah tergolong kesyirikan.[53]
Kalau seandainya sampai beribadah kepadanya secara hakekat, dengan mengantungkan rasa takut, harap dan cinta, sebagaimana itu semua wajib diarahkan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, atau jika dirinya menyekutukan -Nya dalam masalah-masalah tadi, maka dirinya telah terjatuh dalam lembah syirik besar. Dan apabila hanya mencukupkan diri dalam bentuk pengabdian, hanya sekedar menyandarkan nikmat kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla maka ini termasuk syirik kecil.
Oleh karena itu, para ulama berpendapat pada perkara semacam ini tatkala mereka sedang berbicara tentang macam-macam syirik kecil, maka mereka membawakan contoh syirik kecil yang terjadi dari anggota badan lisan ialah dengan pengabdian diri kepda selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, seperti memberi nama Abdu Nabi dan Abdu Rasul. Dan menjelaskan tentang perkara-perkara yang masuk dalam jenis syirik kecil semisal bersumpah dengan nama selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, atau ucapan, 'Menurut kehendak -Nya dan kehendakmu'. Atau ucapan, 'Hakim agung atau raja diraja'. Maka hukum itu semua pada hakekatnya sama saja.[54]
Imam Ibnu Qoyim menerangkan, "Tidak boleh memberi nama dengan Abdu Ali atau Abdu Husain, atau Abdu Ka'bah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah[55] dari Hani bin Syuraih[56] berkata, "Suatu ketika Pernah datang delegasi suatu kaum kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam lalu nabi mendengar diantara mereka ada yang bernama Abdu Hajar, maka Nabi bertanya padanya, "Siapa nama anda? Abdu Hajar, jawab orang tersebut. Kemudian Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, "Sesungguhnya engkau adalah Abdullah (hamba Allah)".[57]
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah menjelaskan tentang hukum mengabdikan diri kepada selain -Nya, bahwa kaum musyrikin mereka mengabdikan dirinya serta anak-anaknya kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, sehingga sebagian mereka memberi nama dengan Abdu Ka'bah, seperti nama asli sahabat Abdurahman bin Auf, ada lagi yang memberi nama dengan Abdu Syams seperti namanya Abu Hurairah, dan juga nama Abdu Syams bin Abdu Manaf, sebagian mereka ada yang memberi nama Abdul Latta, ada juga yang memberi nama Abdul Uzza atau Abdu Manaat, dan lain sebagainya dari nama-nama yang mengandung penghambaan diri kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla. Ada yang menyandarkan kepada Matahari, patung, manusia, dan lain sebagainya yang jelas mengandung kesyirikan kepada –Nya, dan mirip dalam hal ini ialah yang dilakukan oleh orang Nashrani yang memberi nama dengan Abdul Masih.
Maka ketika Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam menjumpai hal tersebut, beliau merubah nama-nama itu lalu menjadikan penghambaan hanya kepada -Nya semata. Yang mana beliau memberi nama sebagian para sahabatnya dengan Abdullah dan Abdurahman. Sebagaimana beliau memberi nama pada Abdurahman bin Auf dan yang semisal dengannya, dan Abu Mu'awiyah yang nama aslinya adalah Abdul Uzza lantas beliau merubahnya menjadi Abdurahman. Beliau memiliki mantan budak yang bernama Qayum lantas beliau menggantinya menjadi Abdul Qayum, dan yang semisal dengan ini.
Ada juga yang mirip yaitu perilaku sebagian sekte Syiah yang ekstrim serta orang-orang yang mirip dengan mereka dari segi ke ekstrimannya terhadap guru-gurunya, seperti di katakan, ini adalah pembantu Syaikh Yunus, atau pembantu yang dimiliki oleh Syaikh Yunus, atau ucapan Pembantunya Ibnu Rifa'i atau Hariri. Dan yang sejenis dengan tindakan semacam ini yang terkandung penyembahan kepada makhluk. Sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Nashrani dalam jiwa mereka terhadap al-Masih. Dan kaum musyrikin terhadap sesembahan mereka, dengan mengharap dan merasa takut padanya, atau terkadang mereka sampai bertaubat kepadanya, sebagaimana kaum musyrikin bertaubat kepada sesembahannya, begitu juga Nashrani kepada al-Masih atau orang-orang yang mengkultuskan guru-gurunya.
Adapun syariat Islam yang merupakan agama yang murni hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata maka penghambaan harus di tujukan kepada -Nya semata sebagaimana dijelaskan oleh sunah Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, dengan merubah nama-nama yang terkandung kesyirikan dengan nama-nama Islami, dan merubah nama-nama kufur menjadi nama-nama yang mengandung keimanan…".[58]
Imam Ibnu Qoyim menjelaskan, "Jika seandainya ada yang bertanya, bagaimana cara memadukan antara larangan memberi nama yang mengandung penghambaan kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan sebuah hadits shahih yang menyebutkan, 'Akan datang hamba dinar'[59], sebagaimana dalam shahih Bukhari. Begitu juga hadits nabi yang mengatakan, 'Saya adalah seorang Nabi yang tidak berdusta, saya adalah cucu Abdul Muthalib?[60]
Jawabannya ialah, untuk hadits yang mengatakan 'Akan datang hamba dinar', di sini tidak ada nama yang dicantumkan, namun, hanya sekedar sifat. Dan celaan bagi orang yang hatinya menghamba kepada dinar ataupun dirham yang di samakan kedudukannya seperti orang yang beribadah kepada kedua materi tersebut dengan beribadah kepada Allah azza  wa jalla".
Adapun hadits kedua yang mengatakan, 'Saya adalah cucu Abdul Muthalib'. Maka didalam hadits ini tidak mengandung bentuk memberi nama baru, tapi, hanya sekedar mengabarkan tentang sebuah nama yang orang tersebut dikenal dengan nama tersebut, dan mengabarkan semisal itu yaitu dengan menjelaskan nama seseorang maka tidak dilarang. Tidak ada bentuk pengkhususan yang mengaitkan antara Abu Muhammad dengan Abdul Muthalib secara khusus. Sebagaimana para sahabat menamai kakek beliau dengan Abdu Syams, dan menamai mereka dengan Bani Abdil Daar, sedangkan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari hal tersebut. Kesimpulannya, bab ikhbar (mengabarkan) lebih luas cakupannya dari pada insyaa (permulaan), maka dibolehkan ketika kita mengabarkan sesuatu yang mengandung kesyirikan apa yang tidak boleh dilakukan pada permulaan".[61]
Beralasan dengan ini maka dilarang memberi nama dengan Abdul Muthalib atau yang semisal,  yang terkandung didalamnya penghambaan kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla. bagaimana mungkin dibolehkan, sedangkan para ulama telah bersepakat akan haramnya memberi nama dengan nama Abdu Nabi, atau Abdu Rasul, atau Abdu Masih, atau Abdu Husain, atau Abdu Ka'bah. Karena kalau hal itu dibolehkan yakni memberi nama dengan Abdu Muthalib maka nama-nama tadi lebih berhak untuk di izinkan dari pada nama Abdu Muthalib. Sebagaimana pula Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menamai Abdu Harits bagian dari wahyu setan, kalau kita anggap haditsnya shahih.
Adapun ucapan sebagian orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud, kesyirikan yang di lakukan oleh Adam dan Hawa dari sisi mentaati bukan dari sisi beribadah kepada setan. Maksudnya bahwa nabi Adam dan istrinya Hawa mau mentaati setan dengan memberi nama anaknya Abdul Harits, bukan berarti keduanya beribadah kepada setan. Sehingga diambil dari sini sebuah dalil perbedaan antara syirik dalam ketaatan dan syirik dalam ibadah.
Tapi, ada sedikit kejanggalan manakala menafsirkan makna ibadah dengan ketaatan, maka hal ini mengharuskan ucapan Qatadah tadi menjadikan kesyirikan dalam ibadah sama dengan kesyirikan dalam ketaatan. Sanggahan akan hal itu, bahwa penafsiran ibadah dengan ketaatan merupakan tafsir lazim. Karena kelaziman ibadah mengharuskan seorang penyembah mau mentaati dzat yang sedang di sembahnya, oleh karena itu di sini ibadah di definisikan dengan ketaatan, atau bisa juga di katakan merupakan tafsir malzum dan konsekuensi lazim. Maknanya manakala ketaatan melazimkan adanya ibadah maka ibadah sebuah konsekuensi dari ketaatan, yang tidak mungkin tercapai sebuah ibadah tanpa adanya ketaatan, dengan itu maka menjadi jelas akan bolehnya menafsirkan dengan tafsiran semacam itu.[62]
Atau bisa dikatakan, tidak semua ketaatan di namakan kesyirikan. Karena yang dimaksud dengan ketaatan yang masuk dalam kategori peribadatan adalah ketaatan yang mempunyai makna khsusus, semisal didalam menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Adapun dalam beberapa kasus dosa maka hukumnya seperti hukum kebanyakan para pelaku dosa. Inilah barometer ketaatan yang masuk atau tidaknya dalam kesyirikan, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Orang-orang yang menjadikan rahib dan orang sholeh sebagai tandingan, dimana mereka mentaatinya ketika mereka menghalalkan sesuatu yang telah Allah Shubhanahu wa ta’alla haramkan dan mengharamkan apa yang telah –Dia halalkan, maka bila dilihat orang-orang tadi terbagi menjadi dua golongan:
Pertama: Mereka mengetahui kalau rahib dan orang alimnya telah merubah agama Allah Shubhanahu wa ta’alla kemudian mereka mengikutinya, dengan menerima penghalalan yang telah Allah Shubhanahu wa ta’alla haramkan atau pengharaman yang telah Allah Shubhanahu wa ta’alla halalkan. Dalam rangka mengikuti pembesar-pembesar mereka, dan dengan kesadaran penuh jika perilakunya tadi menyelisihi agama para Rasul. Maka hukum pelakunya adalah kafir. Dimana dirinya telah membuat tandingan kepada –Nya dan rasul        -Nya. Walaupun mereka tidak sampai sholat dan sujud terhadap para pembesarnya tadi.
Sedangkan orang yang mengikuti orang lain yang jelas menyelisihi agama dengan kesadaranya kalau perkara tersebut menyelisihi agama, dan meyakini apa yang di ucapkan orang tadi lalu mengabaikan ucapan Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya, maka dia dihukumi musyrik semisal orang-orang di awal tadi.
Kedua: Apabila mereka tetap meyakini dan mengimani dengan perkara yang haram dan yang halal, namun, mereka taat didalam melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, seperti halnya seorang muslim yang  mengerjakan perbuatan maksiat tapi masih tetap meyakini jika perbuatanya adalah maksiat, maka orang-orang semacam tadi dan yang semisal denganya di hukumi  sebagai pelaku dosa…".[63]
Barangkali yang dimaksud dengan ucapan ulama yang mengatakan, 'Sekutu dalam bentuk ketaatan bukan dalam peribadatan kepadanya', yang dimaksud mereka adalah makna kedua yang disebut oleh Syaikhul Islam tadi, sehingga tidak di hukumi sebagai kesyirikan. Wallahu a'lam.
Inilah hukum terhadap pendapat yang mengatakan bahwa pengabdian diri kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla merupakan syirik akbar, apabila menginginkan pada makna secara hakekatnya. Adapun jika yang diinginkan dari kelakuannya tadi hanya sekedar berpaling dan menganggap hal itu merupakan sebab, lalu menjadikan sebagai faktor untuk bisa memperoleh nikmat maka hal ini tidak sampai pada syirik akbar, namun berubah menjadi syirik kecil. Inilah pendapat yang kuat dan yang saya pilih dalam masalah ini.
Ada sebagian ulama yang mengategorikan hal tersebut masuk dalam kategori syirik nama[64], dimana mereka memberi contoh semisal orang yang menasabkan anak-anaknya kepada para wali dengan keyakinan bahwa para wali tadi yang memberi dan mengasih selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, seperti nama Abdu Nabi, Hibatu Ali, atau Hibatu Hasan, atau Hibatul Mursyid, atau Hibatul Madaar, atau Hibatu Solar, dan biasanya mereka punya tujuan dengan memberi nama-nama tadi untuk bisa mengusir bala dan musibah…maka itu semua berada dalam ruang lingkup kesyirikan dan pelakunya dianggap musyrik[65].
Ada juga diantara ulama yang mengatakan, 'Diantara fenomena yang terjadi sekarang ini ialah banyaknya orang yang meminta pertolongan kepada guru-gurunya dan para nabi…dimana mereka menisbatkan anak-anaknya kepada para masyayikh nya dalam rangka mengharap bisa dijauhkan dari bencana, sehingga ada diantara mereka yang memberi nama anaknya dengan Abdu Nabi, ada pula yang memberi nama Ali Bakhsy, atau Husain Bakhsy, atau Bair Bakhsy, atau Madar Bakhsy, atau Salar Bakhsy….jelas tanpa disangkal, itu adalah kesyirikan yang nyata…dan itu semua perbuatan tadi bisa dipastikan sebagai kesyirikan.
Dan dinamakan dengan kesyirikan dalam ibadah, artinya mereka telah mengagungkan selain Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam tindakan dan perbuatan yang biasanya tidak dilakukan dan tidak layak dikerjakan kecuali ketika sedang mengagungkan Allah Shubhanahu wa ta'ala".[66]
Dan di sana ada sebagian kelompok yang beranggapan bawah memberi nama dengan bentuk pengabdian diri kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla bukan termasuk dari kesyirikan. Lalu sebagain orang yang terkontaminasi dengan pemikiran diawal mencoba membelanya dengan mengatakan, 'Sesungguhnya menyandarkan kata 'Abdu' kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, tidak terlepas menjadi beberapa kondisi, adakalanya yang disandarkan tadi adalah sesembahan selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, adakalanya bukan sesembahan, kalau kondisinya yang kedua yakni bukan sesembahan bisa jadi itu dilakukan karena salah persepsi atau memang benar, jika pertama yang dilakukan yakni sesembahan selain -Nya maka hukumnya haram adapun jika itu yang kedua yakni salah persepsi maka hukumnya makruh, kalau bukan karena ini maka tidak mengapa, seperti nama Abdu Uzza maka ini haram, adapun nama Abdu Nabi maka hukumnya makruh sedang nama Abdul Muthalib maka hukumnya boleh".[67]
Tidak diragukan lagi akan kebatilan ucapan seperti ini, ucapan yang merusak dan tidak laku dijual, tidak ada kebaikan sedikitpun bagi penggagasnya, di mana mereka tidak memiliki satu dalilpun atas pembagian yang mereka ada-adakan tadi, yang semakin membukitkan bahwa pembagian tadi datangnya dari hawa nafsunya belaka. Dan mereka lupa dengan firman Allah ta'ala:

﴿ مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤۡتِيَهُ ٱللَّهُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادا لِّي مِن دُونِ ٱللَّهِ ٧٩ [ال عمران: 79]
"Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". (QS al-Imran: 79).

Setelah penjelasan ini semua kita menjadi tahu bahwa menurut pendapat yang mengatakan bahwa kisahnya nabi Adam tadi benar, yang menjadikan dalil kesyirikan kecil yang dinisbatkan kepada beliau, atau paling tidak menisbatkan tindakan dosa yang beliau lakukan, lantas muncul pertanyaan berikut, apakah para Nabi mungkin untuk mengerjakan dosa? Sehingga pertanyaan ini mengusung kita kepada permasalan berikutnya yaitu, apakah para nabi terjaga dari mengerjakan dosa?
Masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan perselisihan ini muncul dari beberapa sisi, yang barangkali bisa disimpulkan bahwa muara perselisihan ini kembali pada empat pokok, yaitu:
1)    Dosa yang terjadi dalam perkara i'tiqod (keyakinan).
2)    Dosa yang terjadi dalam perkara tabligh (penyampaian risalah).
3)    Dosa yang terjadi dalam masalah hukum dan memberi fatwa.
4)    Dosa yang terjadi dalam perbuatan dan keseharian mereka.
Kemudian para ulama berbeda pendapat lagi tentang kapan dimulainya waktu 'ishmah (terjaga dari dosa), menjadi tiga kubu:
Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu terjaganya mereka dimulai semenjak kelahirannya. Ini merupakan pendapatnya orang-orang Rafidhoh.
Pendapat kedua ialah pendapat yang mengatakan bahwa waktu terjaganya para nabi dari melakukan dosa dimulai dari usia baligh, dan orang yang berpendapat semacam ini tidak membolehkan para nabi untuk melakukan dosa besar dan kekufuran sebelum diangkatnya menjadi nabi, ini adalah pendapat kebanyakan sekte Mu'tazilah.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa dosa besar dan kekafiran tidak mungkin dikerjakan oleh mereka setelah diangkat menjadi nabi, adapun sebelum diangkat menjadi nabi maka mungkin saja mereka melakukanya.[68]
Sedangkan pembicaraan yang menjelaskan masalah ini sangat rumit untuk dipahami, akan tetapi, saya akan mencoba untuk merangkumnya dan menjelaskan sesuai dengan yang telah disepakati oleh mereka yang berkaitan dengan masalah ini. Yaitu apakah mungkin perbuatan dan maksiat dikerjakan oleh para nabi? Dan disini saya tidak akan menyebutkan tentang pembagian hukum yang keluar dari materi karena sudah jauh dari pembahasan risalahku ini.




PERKARA YANG TELAH DISEPAKATI:
                Kaum  muslimin telah bersepakat bahwa para rasul terjaga ketika mengemban tugas untuk menyampaikan risalah[69]. Mereka para nabi tidak lupa sedikitpun dari perkara-perkara yang telah diwahyukan kepadanya kecuali segelintir saja dari permasalahan yang telah dihapus hukumnya sebelumnya, sehingga garis besarnya, mereka terjaga dari mengerjakan dosa tatkala sedang mengemban tugas menyampaikan risalah.
Berkata Fakhrur Razi menjelaskan pemikiran pendapat ini dengan ucapannya, "Kaum muslimin telah bersepakat bahwa para nabi adalah orang yang terjaga dosa, berbuat dusta dan menyelewengkan perkara-perkara yang seharusnya disampaikan kepada umat, karena jika mereka tidak terjaga dalam masalah ini tentu saja akan hilang nilai kepercayaan terhadap mereka didalam mengemban amanah.
Dan kaum muslimin bersepakat bahwa hal tersebut tidak boleh dikerjakan oleh para nabi baik dilakukan secara sengaja atau karena faktor lupa, walaupun ada sebagaian ulama yang menganggap dibolehkan ketika mereka lupa, mereka berhujah dengan mengatakan, seseorang tidak mungkin bisa menghindar dari yang namanya lupa".[70] Adapun yang berkaitan dalam masalah aqidah maka kekeliruan tidak boleh terjadi di kalangan para nabi[71].
Sehingga manakala kita mengacu kepada pendapat ini, yang mengatakan para nabi tidak boleh keliru dalam masalah aqidah, maka menjelaskan pada kita bahwa tidak mungkin sama sekali penghambaan kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla di lakukan oleh nabi Adam a'laihi sallam. Dan Perselisihan yang ada diawal tadi bermula dari anggapan kalau haditsnya shahih, sedangkan bagi para ulama yang mengatakan haditsnya lemah, dan ini yang dipegang oleh kebanyakan para ulama –dan ini yang kuat insya Allah sebagaimana akan datang penjelasannya- maka para ulama dalam hal ini menyatakan, 'Sesungguhnya hadits ini lemah', sebagian mereka ada yang melemahkan dari sisi riwayatnya, dan sebagian yang lain melemahkan dari sisi fikih haditsnya.
Adapun para ulama yang melemahkan hadits tersebut dari sisi riwayatnya, tidak tanggung-tanggung mereka adalah para pakar hadits, semisal al-Hafidh Ibnu Adi[72], dimana beliau melemahkan hadits tersebut dikarenakan ada cacatnya yaitu Umar bin Ibrahim yang meriwayatkan secara sendirian, beliau menegaskan, "Haditsnya dari Qatadah mudhtarib (goncang)".[73]
Sedangkan al-Hafidh Ibnu Katsir, beliau menyatakan, "Sesungguhnya hadits ini memiliki cacat dari tiga sisi:
Pertama: Bahwa Umar bin Ibrahim ini adalah al-Bashari, dimana dirinya di kuatkan oleh Ibnu Ma'in[74] akan tetapi, dikatakan oleh Abu Hatim ar-Razi[75], 'Riwayatnya tidak bisa dijadikan hujah'. Namun diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari haditsnya al-Mu'tamir dari ayahnya dari al-Hasan dari Samurah secara marfu', wallahu a'lam.
Kedua: Terkadang hadits ini diriwayatkan secara mauquf sampai Samurah saja bukan sabdanya Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Jarir.
Ketiga: Bahwa al-Hasan sendiri menafsirkan ayat bukan dengan hadits ini. kalau seandainya hadits ini darinya yang diriwayatkan dari Samurah secara marfu niscaya dirinya tidak akan berpaling dari hadits ini, lalu mengambil riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Jarir lengkap dengan sanadnya dari al-Hasan. Firman -Nya:

﴿ جَعَلَا لَهُۥ شُرَكَآءَ فِيمَآ ءَاتَىٰهُمَاۚ ١٩٠ [ الأعراف: 190 ]
"Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". (QS al-A'raaf: 190).

Beliau mengatakan, 'Perilaku tersebut dilakukan oleh sebagian pengikut agama-agama yang lalu bukan dikerjakan oleh Adam". Dan dengan sanad yang sampai pada al-Hasan beliau mengatakan, "Yang dimaksud ialah anak cucu Adam yang berbuat kesyirikan dikalangan mereka". Dan masih dengan sanad yang sampai kepada al-Hasan, beliau mengatakan, "Mereka adalah Yahudi dan Nashrani, Allah Shubhanahu wa ta’alla telah memberi karunia anak pada mereka lalu dibimbing untuk menjadi seorang Yahudi dan Nashrani".
Selanjutnya Imam Ibnu Katsir menjelaskan, "Sanad hadits-hadits diatas semuanya shahih dari al-Hasan radhiyallahu 'anhu yang menafsirkan makna ayat dengan ucapannya tadi. Dan ini merupakan penafsiran terbagus yang sangat tepat sesuai dengan kandungan ayat. Dan kalau seandainya hadits tersebut berasal darinya dari Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam niscaya dirinya tidak akan berpaling dari hadits tersebut dan mengambil ucapan orang lain, apalagi dengan ketakwaan dan sikap kehati-hatian yang beliau miliki.
Maka hal ini membuktikan padamu bahwa riwayat tersebut adalah mauquf yang hanya sampai pada sahabat, yang kemungkinan mereka dapat dari sebagian ahli kitab yang beriman dan masuk Islam semisal Ka'ab bin Mani'[76] dan Wahb bin Munabih[77] dan selain keduanya".[78] Kemudian ucapan ulama terdahulu tersebut di tambah oleh Syaikh Nashirudin al-Albani yang menegaskan adanya cacat yang lain, yaitu bahwa riwayatnya al-Hasan dari Samurah merupakan riwayat yang diperselisihkan secara masyhur oleh para pakar hadits, kemudian disini dia melakukan tadlis, dimana tidak terang-terangan telah mendengar dari Samurah. Dan dia dikatakan oleh Imam Dzahabi dalam kitabnya Mizanul I'tidal, "Adalah al-Hasan dirinya banyak melakukan tadlis, maka apabila dirinya menyebutkan dengan ucapannya, 'Dari fulan', maka haditsnya lemah tidak bisa dijadikan hujah".[79]
Akan tetapi, seperti yang kami pahami dari ucapanya al-Hafidh al-Ala'i[80] bahwa riwayat-riwayat yang berasal dari Samurah bisa dibawa pada makna sima' (mendengar), dimana beliau membawakan contoh yang menguatkan pendapatnya[81]. Sehingga dengan ini tinggal tersisa cacat haditsnya dari kritikan yang disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir.
Begitu pula bila ditinjau dari fikih haditsnya maknanya juga tidak lurus. Sebab kita tidak memiliki referensi valid yang menetapkan bahwa nama Iblis adalah Harits. Kemudian ditambah lagi, kita tidak mempunyai dalil yang menunjukan kalau nabi Adam mempunyai anak-anak yang mati sebelum dirinya kecuali Habil. Selanjutnya perbedaan ini sesuai dengan tujuan diutusnya dia ke bumi oleh Allah azza wa jalla, dimana Allah Shubhanahu wa ta’alla menurunkan dia supaya memakmurkan bumi, kalau seandainya anak-anaknya selalu meninggal niscaya tujuan tersebut diatas tidak bisa tercapai sama sekali.
Inilah faktor yang melemahkan hadits tersebut dari sisi dirayah (pengetahuan hadits). Oleh sebab itu Imam Ibnu Hazm menegaskan dalam pernyataanya, "Dan perkara ini, yang menisbatkan pada nabi Adam a'laihi wa sallam bahwa beliau memberi nama anaknya dengan Abdul Harits adalah khurafat yang dusta dan di bikin-bikin. Dari tulisan orang yang tidak memiliki agama dan rasa malu sama sekali, tidak pula mempunyai sanad yang absah, namun, ayat tersebut turun berkaitan dengan kaum musyrikin Arab sebagaimana jelas konteks ayatnya".[82]
Imam Ibnu Qoyim juga menegaskan hal tersebut dalam ucapannya, "Maka yang dimaksud jiwa yang satu adalah Adam dan istrinya Hawa, adapun dua orang yang menjadikan sekutu bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya maka mereka adalah kaum musyrikin yang keduanya dilakukan terhadap anak-anaknya. Maka jangan terkecoh dengan pendapat-pendapat lain yang mengatakan, kalau anak nabi Adam dan Hawa tidak pernah hidup sebelumnya…"[83].
Bila di simpulkan maka di jumpai sisi lemah dari pendapat tersebut melalui beberapa segi, yaitu:
1)    Bahwa nabi Adam 'alihi wa sallam adalah manusia yang paling paham dengan permusuhan Iblis terhadapnya, kemudian setelah itu Iblis mempunyai nama Harits –taruhlah kalau memang benar riwayatnya- lantas bagaimana mungkin beliau setelah paham permusuhan dengan Iblis lalu memberi nama anaknya dengan Abdul Harits?
2)    Bentuk plural dari firman Allah ta'ala: "Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". Kalimat syurakaa yang menunjukan kalau yang menjadikan sekutu itu banyak, selanjutnya dalam hal ini yang dijadikan sebagai sekutu bagi -Nya itu cuma satu yaitu Iblis. Maka mengungkapkan dengan bentuk plural yang menunjukan arti banyak sebagai bukti akan kelemahan pendapat tersebut.
3)    Didalam ayat tidak disebut Iblis sebelumnya, kalau seandainya Iblis lah faktor yang menyebabkan untuk memberi nama yang terkandung didalamnya kesyirikan, –sebatas pengertian yang diacu oleh pendapat tersebut- niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menyebut nama Iblis sebelumnya, sebab kondisinya adalah kondisi peringatan terhadap tipu daya dan was-was setan sehingga menuntut untuk disebut nama Iblis sebelumnya, supaya orang yang datang setelahnya tidak terkecoh dengan perkara yang sama.
4)    Selanjutnya didalam ayat Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan setelahnya:
  ﴿ أَيُشۡرِكُونَ مَا لَا يَخۡلُقُ شَيۡ‍ٔا وَهُمۡ يُخۡلَقُونَ ١٩١﴾ [ الأعراف: 191 ]
"Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang". (QS al-A'raaf: 191).

Hal ini menjadi bukti bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut ialah membantah orang-orang yang menjadikan berhala sebagai sekutu-sekutu bagi Allah ta'ala, adapun nama Iblis maka dalam ayat tersebut tidak dicantumkan sama sekali.
5)    Kalau sekiranya yang dimaksud dalam ayat adalah Iblis niscaya bunyinya, 'Apakah mereka mempersekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan dzat yang tidak mampu menciptakan sesuatupun', tidak mengatakan seperti dalam ayat diatas dengan menggunakan kata ' ما', sebab dalam gramatika bahasa arab di gunakan kata 'من' untuk yang berakal dan kata ' ما' untuk yang tidak berakal.[84]

Sedangkan tafsir ayat, mengacu kepada pendapat yang melemahkan hadits tersebut ialah sebagai berikut:
1)    Bahwa kedua ayat tersebut berkaitan dengan nabi Adam dan Hawa, adapun untuk mengangkat kejanggalan maksud firman       -Nya: "Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". Maksud Firman Allah Shubhanahu wa ta’alla disini adalah hadzaf mudhof, artinya ialah dia menjadikan anak-anaknya sekutu bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla terhadap anugerah yang telah diberikan kepada anak-anaknya. Di sebut dengan jumlah bilangan dua, sebab anaknya terbagi menjadi dua, berkelamin laki-laki  atau perempuan, artinya dua jenis. Dengan pemahaman seperti ini kejanggalan ayat diatas dalam lafadh 'جعلا  ' dan lafadh 'آتهما  ' menjadi terangkat. Dan dalam firman -Nya yang setelahnya: "Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan". Dengan menyebut dalam bentuk plural karena hal tersebut ditinjau dari jumlah anaknya yang banyak.[85]
2)    Bahwa kandungan ayat ini ditujukan bagi seluruh manusia. Sedangkan kata ganti dalam lafadh ' جعلا ' dan lafadh ' آتهما ' kembali kepada jiwa dan istrinya. Bukan kepada nabi Adam dan Hawa[86]. Berdasarkan hal ini maka kata jiwa tidak termasuk dari penyebutan makna ayat. Dan ini merupakan pentakwilan yang terjauh dan terdekat dari sisi takalufnya.
3)    Bahwa ayat ini berbicara kepada Quraisy yaitu kepada bani Qushai, yang sesungguhnya mereka berasal dari satu jiwa yaitu Qushai. Dimana dia punya istri dari bangsanya sendiri yaitu Quraisy. Kemudian keduanya memohon kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk di beri anugerah anak. Lalu –Dia mengabulkan permintaan keduanya, dengan menganugerahkan empat anak laki-laki yang keduanya beri nama dengan, Abdu Manaf, Abdu Syams, Abdul Uzza dan Abdu Daar.[87]
4)    Yang diinginkan dalam ayat adalah Adam dan Hawa. Dan meminta kepada Adam dan Hawa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk di karunia anak yang sholeh adalah keturunanya yang lurus untuk mendapat keturunan laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi anak-anak keturunan tersebut yang menjadikan sekutu bagi -Nya, dari patung dan berhala. Maka maha suci Allah Shubhanahu wa ta’alla dari kesyirikan yang di lakukan oleh kaum musyrikin yang merupakan keturunan keduanya.
Adapun firman Allah ta'ala:

  ﴿ فَلَمَّآ ءَاتَىٰهُمَا صَٰلِحا ١٩٠  ﴾ [ الأعراف: 190 ]
"Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna". (QS al-A'raaf: 190).

Jenis anak dari anak yang sempurna dari segi penciptaan, mulai dari fisik, akal, kekuatan tubuh. Yang menunjukan banyak di sini ialah sifat yang di miliki oleh anak tersebut dan ini disebut sebagai jenis. Maka ini mencakup laki-laki dan perempuan baik sedikit maupun banyak.
       Seakan-akan di katakan, 'Tatkala keduanya di beri anak-anak yang sempurna dalam penciptan baik laki-laki maupun perempuan, Allah Shubhanahu wa ta’alla jadikan dua bentuk dalam firman -Nya "Mereka menjadi sekutu bagi Allah". dari segi dua bentuk ini ada sebagian mereka yang menjadikan sekutunya dengan patung, berhala, api, matahari dan ada pula yang lainnya.[88]
Kesimpulan dari ini semua ialah bahwa tidak absah yang menetapkan kalau nabi Adam yang melakukan kesyirikan, namun, yang otentik sebagaimana kami telah paparkan di awal bahwa awal mula kesyirikan yang terjadi di tengah-tengah bani Adam ialah di mulai dari kaumnya nabi Nuh a'laihi sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, "Sesungguhnya manusia setelah nabi Adam 'alahi sallam, dan sebelum nabi Nuh berada diatas agama tauhid yang murni. Sebagaimana keadaan bapak mereka nabi Adam a'laihi sallam, hingga akhirnya mereka membikin perkara baru dengan kesyirikan dan peribadatan kepada berhala. Bid'ah yang merupakan hasil inovasi mereka sendiri, yang tidak pernah di turunkan oleh Allah perkara tersebut sebuah kitab pun tidak pula di utus seorang rasul yang mengajarkan hal tersebut, mereka lakukan berdasarkan kerancuan yang dihiasi oleh setan dari analogi-analogi yang batil dan filsafat-filsafat yang merusak. Sehingga diantara mereka ada yang mengklaim jika patung-patung, jimat dan mantera, bintang dilangit dan gugusan tata surya serta arwah yang berada diatas langit punya kekuasaan.
Ada pula yang menjadikan gambar dan foto dari kalangan generasi sebelumnya dari para nabi dan orang-orang sholeh. Ada lagi yang menjadikan sekutu untuk persembahan arwah yang rendah dari kalangan jin dan setan. Dan ada pula yang berada dalam pemikiran dan perilaku yang sesat lainnya. Yang kebanyakan mereka hanya sekedar mengikuti para pembesar-pembesarnya, dan mereka sangat jauh dari kebenaran, selanjutnya Allah Shubhanahu wa ta’alla mengutus nabi –Nya, Nuh a'laihi sallam untuk mengajak mereka hanya beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata dan tidak menyekutukan -Nya, dan melarang mereka untuk beribadah kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, walaupun mereka mengklaim jika sesembahnnya tersebut hanya dijadikan sebagai wasilah yang akan mendekatkan diri kepada -Nya sedekat-dekatnya dan menjadikan sebagai perantara pemberi syafaat".[89]



[1] . Lihat ucapan beliau ini dalam tafsir Thabari 9/17/13. dan dalam kitab Tarikhul Umam wal Muluk 1/83. Dengan sanad yang shahih.
[2] . Durarul Mantsur 4/317 oleh Imam Suyuthi dan disandarkan riwayat ini kepada Ibnu Abi Hatim.
[3] . Tarikhul Umam wal Muluk 1/165 oleh Imam Thabari. Al-Kaamil 1/32 oleh Ibnu Atsir.
[4] . Tarikhul Umam wal Muluk 1/170 oleh Imam Thabari. Al-Kaamil 1/34 oleh Ibnu Atsir. Dan ar-Raudhul Anfi 1/14 oleh as-Suhaili.
[5] . Bisa dilihat kritikan pada rawi yang bernama Hisyam ini dalam Thabaqaat Khalifah hal: 167. Tarikh Baghdad 14/45 oleh Khatib al-Baghdadi. Al—Ansaab 10/454 oleh as-Sam'ani. Mu'jamul Udaba'i 19/746 oleh Yaaqut. Wafiyaatul A'yaan 6/82, 84 oleh Ibnu Khulakan. Mizanul I'tidal 4/ 205, 304, Dan Siyar a'lamu Nubala 10/101  oleh adz-Dzahabi. Lisanul Mizan 6/196 oleh Ibnu Hajar.
        Adapun rawi yang bernama Muhammad bin Sa'il al-Kalbi bisa dilihat dalam Thabaqaat Kubra 6/249 oleh Ibnu Sa'ad. Al-Ma'arif hal: 533 oleh Ibnu Qutaibah. Tarikhul Kabir 1/101 oleh Bukhari. Mizanul I'tidal 3/559. al-Wafi bil Wafiyaat 3/83 oleh ash-Shufdi.
[6] . Beliau adalah Abu Sholeh Baadzam, ada yang mengatakan Badzaan, mantan sahaya Ummu Hani binti Abi Thalib. Yang meriwayatkan darinya al-A'masy, dan Isma'il as-Sudi, jika ada riwayat yang datang darinya maka tidak dianggap. Beliau termasuk ruwatul Arba'ah. Lihat Tahdzibu Tahdzib 1/263 no: 770 oleh Ibnu Hajar.
[7] . Lihat ucapan ini oleh Abu Hatim Ibnu Hibban dalam kitab al-Majruhiin 2/253.
[8] . al-Ashnaam hal: 50, 51. oleh Ibnul Kalbi. Ighatsatul Lahfan 2/622 oleh Ibnu Qoyim.
[9] . Telah lewat takhrijnya.
[10] . Jami'ul Bayaan fii Tafsir 12/29/62 oleh Ibnu Jarir. Durarul Mantsur 6/269 oleh Suyuthi.
[11] . Ighatsatul Lahfan 1/210 oleh Ibnu Qoyim
[12] . Tafsir Thabari 12/29/62.
[13] . Beliau adalah Hasan bin Abi al-Hasan al-Bashari mantan sahaya Ummu Salamah dan Rab'i binti Nadhar atau Zaid bin Tsabit, Abu Sa'id al-Imam salah satu Imam. Meriwayatkan hadits darinya beberapa ulama hadits, dan dirinya juga meriwayatkan dari beberapa sahabat. Lihat biografinya dalam al-Khulashah hal: 77 oleh al-Khazraji.
[14] . Beliau adalah sahabat Samurah bin Jundub bin Hilal al-Fazari, lalu tinggal di Bashrah. Beliau termasuk penghafal hadits yang sangat banyak dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Meninggal di Bashrah pada tahun 85 H. Lihat biografinya dalam kitab al-Khulashah hal: 156 oleh al-Khazraji.
[15] . HR Ahmad 5/11. Tirmidzi no: 3077. dan al-Hakim 2/545. Hadits ini dilemahkan oleh Ibnu Katsir 2/274, syaikh al-Albani dalam silsilah Dha'ifah no: 342. Lihat pembahasan dalam catatan kaki oleh Syaikh Ahmad Syakir terhadap Tafsir Thabari 13/309. dan Kitab Israiliyaat wal Maudhu'aat hal: 209-210, oleh Ibnu Syuhbah.
[16] . Beliau adalah Abu Isa, Muhammad bin Isa bin Surah at-Tirmidzi, Hafidh yang buta mata, salah seorang imam terkenal, penulis kitab al-Jami' dan tafsir. Meninggal pada tahun 270 H. Lihat biografinya dalam al-Khulashah hal: 355 oleh al-Khazraji.
[17] . Beliau adalah Imam besar dalam hafalan yang bernama Abu Abdillah, Muhammad bin Abdullah bin Hamdawiah an-Naisaburi yang lebih dikenal dengan al-Hakim. Lahir pada tahun 321 H dan meninggal pada tahun 405 H. diantara karya tulis beliau yang banyak ialah Mustadrak 'ala Shahihain. al-Madkhal ila Shahih dan yang lainya. Lihat biografinya dalam Tadzkiratul Hufaadh 3/1029. oleh Imam Dzahabi 
[18] . Beliau adalah al-Hafidh al-Alamah Abu Bakar, Ahmad bin Musa bin Mardawaih al-Ashfahani, pemilik kitab Tafsir. Lahir pada tahun 323 H dan meninggal pada tahun 410 H. Lihat biografinya dalam Thabaqaat Mufasiriin 1/93 oleh ad-Dawudi.
[19] . Tafsir Ibnu Katsir 2/274.
[20] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/99.
[21] . Lihat ucapan ini dalam kitab al-Khulashah hal: 109 oleh al-Khazraji.
[22] . Tafsir Ibnu Katsir 2/275. Dan disandarkan riwayatkan kepada Ibnu Abi Hatim.
[23] . Lihat penjelasannya oleh Ibnu Hajar dalam Tahdzibu  Tahdzib 2/87 no: 2026.
[24] . Lihat ucapan ini dalam kitab al-Khulashah hal: 109 oleh al-Khazraji dalam biografinya Syuraik al-Qadhi.
[25] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/99.
[26] . Lihat penjelasannya tentang kritikan terhadap para rawi atsar ini dalam Lisanul Mizan 3/18-19, 5/174 dan Tahdzibu Tahdzib 2/294 keduanya oleh Ibnu Hajar. Tarikh Kabir 1/2/299 dan 4/1/908 oleh Imam Bukhari. Thabaqaat 1/211, 213 oleh Ibnu Sa'ad.
[27] . Tafsir Ibnu Katsir 2/275.
[28] . Ibid.
[29] . Lihat pernyataan ini dalam Tafsir Ibnu Jarir 6/9/101.
[30] . Ibid.
[31] . Ibid.
[32] . Beliau adalah Isma'il bin Abdirahman bin Abi Karimah. Abu Muhammad al-Hijazi al-Kufi, tsiqah. Lihat biografinya dalam Siyar a'lamu Nubala 5/264 oleh adz-Dzahabi.
[33] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/99.
[34] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/101.
[35] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/101.
[36] . Beliau adalah Imam Abu Muhammad, Abdurahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi al-Handali al-Hafidh. Penulis buku Jarh wa Ta'dil dan Tafsir serta karya tulis lainnya. Meninggal pada tahun 327 H. lihat biografinya dalam Tadzkiratul Hufaadh 2/829-832. Siyar a'lamu Nubala 13/263 keduanya oleh Imam Dzahabi.
[37] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/101.
[38] . Beliau adalah Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi. Julukannya Syihabudin, Abu Tsana. Ahli tafsir, pakar hadits, fakih, sastrawan, dan ikut serta dalam beberapa displin ilmu. Lahir di Baghdad pada tahun 1217 H. Termasuk orang terdekat Sulthan Abdul Majid, meninggal pada tahun 1270 H. diantara karya tulisnya ialah Ruhul Ma'ani dan yang lainya. Lihat biografinya dalal Mu'jamul Mu'alifiin 12/175.
[39] . Ruhul Ma'ani 3/185 al-Alusi.
[40] . Kitabu Tahuid ma'a Syarhi Fathul Majid 2/614.
[41] . Taisir Azizil Hamid hal: 565-566.
[42] . Ibid.
[43] . Beliau adalah Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi al-Hanbali, seorang alim Rabbani, peneliti besar. Meninggal pada tahun 1285 H. Lihat biografinya dalam Muqodimah Fathul Majid dan dalam kitab al-A'laam 4/76 oleh az-Zarkali.
[44] . Fathul Majid 1/616 oleh Abdurahman bin Hasan alu Syaikh.
[45] . Da'watu Tauhid hal: 89 oleh Muhammad Khalil Haras.
[46] . Ibid.
[47] . Permasalahan ini diperselisihkan secara tajam oleh para ulama hingga dikalangan sesama Ahlu Sunah.
[48] . Da'watu Tauhid hal: 89 oleh Muhammad Khalil Haras. Menukil dari ucapannya Sayid Syarif al-Jurjani dalam al-Mawaqif.
[49] . Beliau adalah kakeknya Hatim ath-Tha'i. penyair pada zaman Jahiliyah, terkenal dengan keberanian, kedermawanan dan kemuliaanya. Dirinya sangat dermawan, memiliki bait-bait syair yang terkenal. Meninggal pada tahun akhir abad ke enam masehi. Setelah kelahirannya Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Lihat biografinya dalam al-A'laam 2/151 oleh Zarkali.
[50] . Bait syair ini tidak dijumpai dalam kumpulan syairnya, akan tetapi disandarkan kepada tafsir al-Qurthubi 4/7/215.
[51] . Beliau adalah al-Allamah, hafidh, fakih, Abu Muhammad, Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm al-Umawi, maula Qurthubi, adh-Dhahiri. Awalnya beliau bermadzhab Syafi'i, kemudian ganti memilih madzhab Dhahiri. Beliau sangat banyak menguasai berbagai disiplin ilmu, wara', dan zuhud. Kitab beliau diantaranya ilah al-Muhalla yang merupakan madzhab dan hasil kumpulan ijtihadnya. Kemudian al-Fashl, Maratibul Ijma dan yang lainnya. Meninggal pada tahun 457 H. lihat biografinya dalam Tadzkiratul Hufaadh 3/1147 oleh Dzahabi. Dan dalam Syadzraatu Dzahab 3/299 oleh Ibnu Ma'ad.
[52] . Maratibul Ijma' hal: 154 oleh Ibnu Hazm.
[53] . Lihat pernyataan ini dalam Fathul Majid 2/617 oleh Syaikh Abdurahman bin Hasan alu Syaikh, dan juga faidah yang saya dapat dari guru kami Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad.
[54] . Lihat pembahasannya dalam Madkhul ila Dirasaatil Aqidah hal: 139 oleh Ibrahim al-Buraikan.
[55] . Beliau adalah Abu Bakar bin Abi Syaibah bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman al-Abbasi, maula mereka al-kufi, al-Hafiidh. Meriwayatkan dari Syuraik, Hasyim, Ibnu Mubarak, Ibnu Uyainah, Ghandar, dan yang lainnya, sedangkan yang meriwayatkan darinya ialah Bukhari dan Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Abu Zur'ah dan yang lainnya. Meninggal pada tahun 235 H. lihat biografinya dalam Siyar a'lamu Nubala 11/122 oleh Dzahabi.
[56] . Begitulah dengan nama Hani bin Syuraih seperti dalam kitab al-Mushanaf, begitu juga dinukil oleh Imam Ibnu Qayim dalam kitabnya Tuhfatul Maudud bii Ahkamil Maulud hal: 72. Kemudian kesalahan ini terus berlangsung sampai di nukil oleh penulis kitab Taisir Azizil Hamid. Sungguh diriku telah mengerahkan waktu dan upaya untuk mencari namanya maka tidak saya jumpai kecuali yang bernama Hani bin Yazid seperti disebutkan dalam buku-buku induk rijal hadits semisal al-Ishabah 3/566 no: 8927 dan juga dalam al-Khulashah hal: 408 oleh al-Khazraji.
        Sehingga saya memutuskan bahwa beliau adalah Hani bin Yazid al-Kindi al-Madzhaji al-Haritsi, Abu Syuraih. Seorang sahabat, sebab hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya Adabul Mufrad. Beliau mengatakan, 'Hani bin Yazid', sebagai ganti dari Hani bin Syuraih. Lihat Adabul Mufrad no: 811. dari sini saya merasa yakin bahwa beliau adalah Hani bin Yazid, sehingga cetakan yang ada dalam kitab al-Mushanaf merupakan salah cetak sehingga tercetak dengan nama Hani bin Syuraih. Wallahu a'lam. Kemudian saya melihat dalam tahqiq kitab Tuhfatul Maudud oleh Syaikh Basyir Muhammad Uyun telah lebih dulu menyebutkan kekeliruan tadi. Al-Hamdulillah 'ala kuli haal.
[57] . al-Mushanaf 5/262 no: 25901. oleh Ibnu Abi Syaibah. Adabul Mufrad no: 811 oleh Bukhari. Tuhfatul Maulud hal: 73 oleh Ibnu Qayim.
[58] . Majmu Fatawa 1/378, 379.
[59] . Seperti di riwayatkan oleh Bukhari no: 2887. 
[60] . HR Bukhari no: 2854.
[61] . Tuhfatul Maulud hal: 72-73, oleh Ibnu Qayim.
[62] . lihat pernjelasannya dalam kitab Taisir Azizil Hamid hal: 571-572 oleh Sulaiman bin Abdullah alu Syaikh dengan sedikit perubahan.
[63] . Majmu' Fatawa 7/70.
[64] . Lihat pembasahannya dalam kitab Kasyaaf Isthilahaat al-Funun 4/146-153 oleh at-Tahanawi. Hujatullahi Balighah 1/183 oleh Waliyullah Dahlawi, Taqwiyatul Iman hal: 19-21 oleh Syaikh Syah Muhammad Isma'il.
[65] . Taqwiyatul Iman hal: 19-21 oleh Syaikh Syah Muhammad Isma'il.
[66] . Taqwiyatul Iman hal: 25-40 oleh Syaikh Syah Muhammad Isma'il.
[67] . Faidhul Bari 3/287 oleh Anwar Syah al-Kasymiri.
[68] . Tafsir Mafathul Ghaib 2/3/7-8 oleh ar-Razi.
[69] . Banyak para ulama yang menukil terjadinya ijma' dalam masalah ini. coba lihat penjelasannya dalam Majmu Fatawa 10/291 oleh Ibnu Taimiyah. Dan Lawami'ul Anwar al-Bahiyah 2/304 oleh Safarini.
[70] . Tafsir Mafathul Ghaib 2/3/7 oleh ar-Razi.
[71] . Tafsir Mafathul Ghaib 2/3/7 oleh ar-Razi. Al-Mawaqif hal: 134 oleh al-Iji. Nasimi Riyadh Syarh Syifaa lii Qodhi Iyadh 4/41-42. oleh Syihab al-Khafaji.
[72] . Beliau adalah Ibnu Adi, Imam, al-Hafidh besar. Abu Ahmad, Abdullah bin Adi bin Muhammad bin Mubarak al-Jurjani, pemilik kitab al-Kamil fii Jarh wa Ta'dil, lahir pada tahun 277 H dan meninggal pada tahun 365 H. Meriwayatkan dari Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, Nasa'i dan Abu Ya'la, sedang yang meriwayatkan darinya ialah Ibnu Uqdah, al-Maliyani dan yang lainnya. Lihat biografinya dalam kitab Bidayah wa Nihayah 11/283 oleh Ibnu Katsir dan Thabaqaat Syafi'iyah 3/315 oleh as-Subki.
[73] . al-Kamil fii Jarh wa Ta'dil 3/1701 oleh Ibnu Adi.
[74] . Beliau adalah Yahya bin Ma'in bin Aun al-Ghathfani, maula mereka al-Baghdadi. Seorang ulama besar, meriwayatkan dari Ibnu Uyainah, Abu Usamah, dan Abdurazzaq. Dan yang meriwayatkan darinya ialah Bukhari dan Muslim, Abu Dawud, Abdullah bin Imam Ahmah dan yang lainnya. Meninggal di kota Madinah pada tahun 203 H. Lihat biografinya dalam kitab Tadzkirotul Hufaadh 2/249 oleh Imam Dzahabi.  
[75] . Beliau adalah al-Hafidh besar, al-Allamah Abu Hatim, Muhammad bin Idris bin al-Mundzir ar-Razi. Salah seorang ulama penghafal hadist, meriwayatkan dari Ahmad, Abu Khaitsamah, Qutaibah dan ulama lainnya. Dan yang meriwayatkan darinya ialah Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah dan yang lainnya. Meninggal di kota ar-Ray tahun 277 H. Lihat biografinya dalam kitab Tarikh Baghdad 2/72 oleh al-Khatib Baghdadi. Thabaqaatul Hufaadh hal: 259 oleh Imam Suyuthi.
[76] . Beliau adalah Ka'ab bin Mani' al-Humairi, Abu Ishaq al-Habr termasuk ahli kitab yang masuk islam, meriwayatkan dari Umar dan Shuhaib, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Mu'awiyah. Beliau termasuk dari kalangan Tabi'in. Berkata Ibnu Sa'ad, 'Beliau meninggal pada tahun 32 H di Hums pada khilafah Utsman bin Affan'. Lihat biografinya dalam al-Khulashah hal: 321 oleh al-Khazraji. 
[77] . Beliau adalah Wahb bin Munabih bin Kamil al-Abnawi ash-Shan'ani, al-Akhbari, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jabir dan yang lainnya. Meriwayatkan darinya Hamam, Samak, dan ulama lainya. Di kuatkan oleh Imam Nasa'i, dan beliau meninggal karena dibunuh oleh Yusuf bin Umar pada tahun 110 H. Lihat biografinya dalam kitab al-Khulashah hal: 419 oleh al-Khazraji.
[78] . Lihat penjelasan beliau ini dalam kitab Tafsirnya 2/275.
[79] . Lihat ucapan Imam Dzahabi dalam Mizanul I'tidal 1/527 no: 1968. dan Syaikh al-Albani dalam Silsilah Dha'ifah 1/517.
[80] . Beliau adalah al-Hafidh pengkritik hadits yang kapabel dan kompeten. Sholahudin Khalil bin Kikaldi al-Ala'i, asy-Syafi'i. Lahir pada tahun 694 H di Damaskus. Mendapat riwayat hadits dari al-Mizzi dan adz-Dzahabi. Belajar ilmu fikih dari Ibnu az-Zamlakani. Serta berguru kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meninggal pada tahun 761 H. Diantara murid-muridnya yang terkenal ialah al-Hafidh Ibnu Katsir, dan Subki. Beliau mempunyai tulisan-tulisan yang sangat bermanfaat, diantaranya, Jami'u Tahshil. Lihat biografinya dalam Duraru Kaminah 2/179 oleh Ibnu Hajar. Thabaqaatul Hufaadh hal: 532-533, oleh Suyuti. 
[81] . Lihat ucapan beliau ini dalam kitabnya Jami'u Tahshil hal: 165-166. dengan Tahqiq oleh Hamdi Abdul Majid as-Salafi. Sebagaimana juga dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Milal wal Ahwa wa Nihal 4/11.
[82] . Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Milal wal Ahwa wa Nihal 4/11.
[83] . Raudhotul Muhibbin hal: 297 oleh Ibnu Qoyim.
[84] . Lihat penjelasan ini oleh Fakhrur Razi dalam Tafsirnya 8/15/60-61.
[85] . al-Kasyaaf 2/109 oleh Zamakhsyari. At-Tibyaan fii Aqsamil Qur'an hal: 263-264 oleh Imam Ibnu Qoyim.
[86] . Lihat penjelasan ini oleh Fakhrur Razi dalam Tafsirnya 8/15/60-61.
[87] . Tafsir Raghaibil Furqaan wa Gharaibil Qur'an 6/9/94 oleh an-Naisaburi.
[88] . Dikatakan oleh al-Khatib Syarbini dalam Sirajul Munir fii I'anatu 'ala Ma'rifatil Kalami Rabbinaa al-Khabir 1/449.
[89] . Majmu Fatawa 28/603-604.

Tidak ada komentar