Idul Fitri: Kemenangan dan cobaan

Idul Fitri: Kemenangan dan cobaan
Ketahuilah bahwa Allah ta’ala menjadikan kehidupan dunia ini sebagai ujian dan
cobaan bagi hamba-hambanya agar diketahui siapakah dari hambaNya yang mentataiNya
dan siapa yang mendurhakaiNya: Dialah Allah yang menciptakan kematian dan
kehidupan untuk menguji kalian, manakah di antara kalian yang paling baik amalnya, dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun)
Orang yang berbahagia adalah orang yang mampu menjadikan kehidupannya
sebagai bekal menuju perjalanan panjang ke akherat kelak.
Ma’asyiral muslimin yahdikumullah…
Saat ini semua umat Islam diseluruh penjuru negeri bergembira menyambut Idul
Fitri, yang memang merupakan waktu yang diajarkan oleh Islam untuk bergembira.
Karena memang inilah hari raya kita, hari raya dimana kita bias bergembira menyambut
kedatangannya. Ada banyak hari di mana orang biasanya bergembia dan berpesta, kita
tidak akan hanyut pada hari-hari di mana orang lain berpesta, karena kita sebagai orang
Islam memiliki hari raya sendiri yang ajarkan oleh Allah yakni hari raya idul fitri dan hari
raya qurban.
Kegembiraan kita di hari raya ini merupakan perwujudan rasa syukur kita kepada Allah
swt atas segala karunia dan nikmat yang telah kita terima, baik karunia lahir maupun
batin. Khususnya kita bersyukur bahwa kita mampu dan masih diberi kesempatan
melaksanakan puasa dan qiyam lail. Yang pahalanya tidak terhitung nilainya di sisi Allah
swt. Allah berfirman bahwa orang yang senantiasa bersyukur terhadap Allah pastilah
Allah akan menambah karunia, dan barang siapa yang mengingkari nikmat Allah maka
Allah menjanjikan adzab yang sangat pedih. Dan ketahuilah bahwa janji Allah pada
saaatnya nanti pasti akan terjadi.
Shalawat dan salam kepada junjungan nabi kita, nabi Muhammad saw, yang telah
mengajarkan bagaimana mengenal Allah sang Pencipta kita dan jagad raya ini. Nabi yang
telah mengajarkan kepada kita bagaimana menyembah Allah dengan benar sehingga kita
menjadi sebaik-baik umat manusia di muka bumi. Maka kiat senantiasa memanjatkan
salawat dan salam atas beliau sebagaimana Allah dan para malaikatpun bershalawat pada
Rasulullah karena demikian agungnya sosok nabi Muhammad di hadapan Allah dan para
malaikat. Al ahzab (33):56
56. Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi[1229]. Hai orangorang
yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya[1230].
Muslimin yang berbahagia..
Marilah kita sambut hari raya idul fitri ini dengan takbir mengumadangkan
kebesaran Allah swt. Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar kabira….Karena Allah
sajalah yang berhak untuk diagung-agungkan, barang siapa yang mengagungkan selain
Allah maka ia termasuk orang yang melampui batas dan telah berbuat kesyirikan yang
nyata.
Lihatlah diri kita, bukankah seringkali kita merasa paling besar, gumedhe,
jumawa seolah-olah semua manusia kecil dan harus takluk dihadapan kita. Kita berlagak
seolah kita adalah Tuhan yang kuasa atas segala keadaan. Tidakkah kita sadar, bahwa
kita sesungguhnya tidak lain adalah makhluk yang sangat-sangat lemah, maka kepada
siapa lagi kita berharap selain kepada Allah swt yang telah menciptakan kita dan dengan
kasih saying Allahlah kita diberi kesempatan menikmati hidup di dunia milik Allah ini.
Maka apa sesungguhnya yang menahan kaki kita tidak mau melangkah ke masjid ?
Apakah yang menahan kepala kita sehingga tidak mau menunduk ke tanah bersujud di
hadapan Allah ?
Apakah yang menahan lidah kita sehingga kaku dan kelu mengucapkan dzikir dan takbir
??
Apakah yang menahan hati kita sehingga sulit merindukan Allah ?
Apakah yang menahan pikirankita sehingga tidak mendambakan surga ?
Apakah yang mendorong jiwa kita sehingga cenderung ke neraka ?
Apakah yang menahan diri kita sehingga mengabaikan hak-hak Allah dan cenderung
memperturutkan hawa nafsu padahal hawa nafsu itu mendorong kepada kejelekan
Apakah kesombongan kita sudah demikian memuncak, sehingga sedemikan lantang kita
durhaka kepada Allah. Na’udzu billah min dzalik…
Ma’syiral muslimin rahimakumullah…
Berbahagialah kita karena hingga saat ini kita dimudahkan oleh Allah untuk
bersujud, rukuk, dihadapan Allah. Janganlah karena perilaku kita yang menetang Allah
menjadikan Allah semakin murka kepada kita. Janganlah karena kesombongan dan
kebodohan kita menjadi sebab terhalangnya kita dari jalan surga dan menghalangi kita
mendekati Allah swt. Maka bersyukur kepada Allah atas segala karunia ini. Karunia iman
dan islam. Apalah artinya kesenangan sesaat di dunia tapi membawa penyesalan
berkepanjangan di akherat kelak.
Apakah selepas ramadhan semakin dekat dengan Islam ataukah justru semakin
jauh ?? hanya diri kita sendiri yang nanti akan membuktikan.
Ada dua sikap yang ditunjukkan manusia ketika menghadapi nikmat atau cobaan.
Yakni pertama sikap syukur dan kedua sikap kufur. Ibrahim(14):7
Dan (ingatlah juga), tatkala
Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Marilah kita coba melihat satu persatu. Kita apakah kita termasuk hamba yang bersyukur
atau yang kufur.
Kita hitung nikmat yang telah Allah berikan kepada kita (dan kita sesungguhnya tidak
akan pernah mampu menghitung nikmat Allah)
Allah telah memberikan kita badan yang sehat lengkap, semua berfungsi sebagaimana
mestinya. Satu saja dari anggota badan kita ini tidak berfungsi sungguh betapa
tersiksanya kita. Kita punya dua mata, satu mata sakit ringan untuk beberapa hari saja,
ingat …bukan sakit berat, serasa keseimbangan badan kita menjadi oleng, mata terasa
mau copot. Belum anggota badan yang lain. Pernahkah kita bersyukur, ingat kepada
Allah….bahwa Allah telah memberi kita bentuk yang sedemikian sempurna. Pernahkah
terucap tabarakallah ahsanul khalikin (terpujilah Allah dzat sebaik-baik pencipta) atau
justru kita tidak ingat Allah sama sekali.
Allah memberikan hewan ternak dan panen yang cukup untuk kita makan, bersyukurkah
kita kepada Allah atas rezki ini ?? Ingatkah kita kepada Allah, dzat yang memberi rezki
atas selama ini yang kita makan ??? . Ataukah justru kita mengingkari Allah karena Allah
memberi panen tidak seperti yang kita harapkan. Ataukah justru kita lupa kepada Allah
dan bahkan malah ingat kepada sesuatu yang kita anggap mbau rekso panen kita.??
Allah memberikan kepada kita anak-anak yang sanagt kita dambakan, ingatkah bahwa
Allah yang memberikan kita keturunan ataukah justru kita lalai mengingat Allah karena
anak-anak kita ?
Allah memberikan kita perniagaan dan perdangan yang laris, bersyukurkah kita bahwa
Allah ataukah justru kita lalai kepada Allah karena kesibukan kita kepada perdangan
tersebut.
Ingatlah kisah anak paman nabi Musa yang bernama Qarun, ia sesungguhnya adalah
termasuk hamba Allah yang shaleh pada awal mulanya, memiliki suara yang merdu,
manakala membaca kitab Taurat maka hati dan jiwa akan khusuk mnyimak firman Allah
tersebut. Karena kesalehannya Allah memberi karunia perbedandaharaan harta benda
yang tak terkira banyaknya. Kunci-kunci gudang perbendaharaan hartanya tidak mampu
dipikul sejumlah orang kuat pada masa itu. Tapi apa akhhir dari qarun ini, ia tidak mau
bersyukur kepada Allah, ia lupa dan lalai kepada Allah, dikiranya harta itu adalah jerih
payah dari ilmunya. Qarun berkata bahwa harta benda itu didapat karena ilmunya sendiri
(al qashash (28):78):
Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya
diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. dan Apakah ia tidak mengetahui,
bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat
daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada
orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.
Ia tidak menyadari bahwa hartanya itu adalah karunia dan kemurahan
Allah kepada dirinya. Karena Allah dzat maha pemberi rizki. Karena lalai, maka
Allah menenggelamkan dirinya dan hartanya ke dalam bumi. Itulah balasan orang
yng tidak mau bersyukur kepada Allah.
Maka berkatalah orang-orang yang dulu menginginkan harta seperti qarun:
berkata: “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari
hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya
atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak
beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (al qashash (28): 82)
Sulaiman alaih salam, seorang nabi dan raja diraja meng menguasai dunia manusia dan
binantnag, laut dan daratan serta udara, baik dunia kasat mata maupun dunia yang tidak
kasat mata. Beliau mampu memahami bahasa binantang. Maka tatkala ia mendengar
suara semut. Ia ingat Allah swt seraya berdo’a : “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk
tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan
masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”.
(an naml:19)
Di sisi lain iapun bersyukur atas segala karunia yang telah diterimanya iapun berkata: “Ini
Termasuk kurnia Tuhanku untuk mengujiku aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-
Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya
sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (an
naml: 40)
Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya
mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hambahambanya
yang beriman.” (an naml: 15)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah..
Demikianlah teladan yang diberikan Nabi Sulaiman ketika mendapat karunia dari Allah
swt.
Begitu pula ketika seseorang mendapat musibah baik pada dirinya, keluarganya,
harta bendanya atau lingkungannya. Apakah ia akan ingat kepada Allah dengan minta
ampunan dan istighfar. Ataukah justru berpaling dari Allah segala tindakan kemungkaran
dan kesyirikan.
Ayyub, Nabi Allah yang begitu tabah mendapatkan cobaan merupakan teladan yang baik
dalam hal ini. Ketika Allah karuniakan anak-anak yang shalih, istri yang shalihah, kebun
dan ternak yang banyak hasilnya, tidak menambah apa – apa selain rasa syukur kepada
Allah swt. Hingga akhirnya ia diuji dengan kehilangan semuanya, tetapi tidak
mengurangi rasa syukurnya kepada Allah maka Allah mengembalikan semuanya kepada
Nabi Ayyub. Bahkan ia tetap memuji Allah dengan berkata: “(Ya Tuhanku),
sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha
Penyayang di antara semua penyayang.” Al anbiya(21): 83.
Ma’asyiral muslimin arsyadakumullah….
Hakekat hidup adalah ujian dan cobaan, maka barang siapa yang lulus darinya Allah akan
meninggikan derajatnya dan memberikan karunianya di dunia ini maupun di akherat
kelak. Akan tetapi siapa yang tidak lulus ujian dan menjadi durhaka maka kehinaan dan
kenistaan akan diterimanya di dunia dan di akherat kelak.
Apakah kita akan mengatakan kami beriman kepada Allah sebelum Allah
menerimakan cobaan kepada kita sebagaimana orang-orang beriman jaman dahulu
menerima cobaan. Sehingga bisa diketahui dengan benar siapa hamba Allah yang
sebenarnya/bersyukur dan siapa yang dusta/kufur. (al ankabut (29):2)
2. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
“Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
3. Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka,
Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.
Kalau ada musibah kemudian orang cenderung mengkaitkan musibah itu dengan klenik, syirik,
sesaji, larung dan sebagainya maka bias dipastikan bahwa hal tersebut merupakan kemungkaran yang
bertentangan dengan ajaran Islam, karena semua hal adalah miliki Allah, dzat yang memberi manfaat dan
mudharat, maka semestinya bila ditimpa musibah segera minta ampun, beristighfar memperbanyak dzikir
dan ingat serta kembali kepada Allah, bukan mencari jalan keluar yang justru menambah kemurkaan Allah.
Sebaliknya bila mendapatkan karunia segera ingat bahwa hal tersebut atas karunia Allah semata
sehingga semakin menambah rasa syukurnya kepada Allah, dan tidak akan menjerumuskannya pada
pengagungan diri sendiri.
Maka idul fitri ini sekaligus kemenangan kita menahan hawa nafsu kejelakan selama ini sekaligus
sebagai ujian keimanan bagi kita kaum muslimin untuk menghadapi tahun-tahun mendatang. Semoga Allah
menguatkan hati kita untuk teguh perpegang kepada Allah ta’ala.
Wallahu a’alm bishwab.
Ini barangkali renungan kita di sela-sela kita merayakan idul fitri sehingga hari raya kita
tetap menjadi lebih bermakna. Maka marilah kita berdo’a kepada Allah swt semoga Allah
memasukkan kita ke dalam hamba-hambaNya yang pandai bersyukur, mentaati
perintahnya dan menjauhkan kita dari adzab dan siksanya yang sangat pedih.

Dari Fitrah Menuju Muslim yang Lurus dan Tercerahkan


Dari Fitrah Menuju Muslim yang Lurus  dan Tercerahkan

Hadirin, sidang Idul Fitri yang dirahmati Allah.
Atas Rahmat Allah yang agung yang telah dilimpahkan kepada kita, pada
hari ini, 1 Syawal 1428 H yang bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 12
Oktober 2007 M, kami sampai pada puncak dari seluruh rangkaian ibadah
Ramadhan 1428 H, yaitu Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya kemenangan Umat
Islam di seluruh pelosok dunia. Atas Hidayah Allah yang tercurah deras
dalam hati sanubari kita, perayaan Idul Fitri ini dapat kita lakukan dengan
khusu’ dan dengan hati yang bertaubat. Dan Atas Karunia Allah yang
melimpah ruah, kita bisa menikmati indahnya beridul fitri bersama sanak
keluarga, saudara, handau taulan, tetangga, teman dan seluruh kaum
muslimin dengan penuh kebersamaan dan suka cita. Untuk itu semua, puja
dan puji syukur wajib senantiasa kita haturkan ke hadirat Allah SWT, Rabb
sekalian alam.
Idul Fitri artinya hari raya fitrah. Hari raya kesucian manusia. Disebut juga
sebagai hari kembalinya kesucian kepada kita. Inilah hari raya yang resmi
diajarkan agama kita melalui sunnah Rasulullah SAW, selain Idul Adha.
Adapun semua hari raya atau hari besar Islam yang lain, lebih merupakan
hasil budaya daripada ajaran agama, seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj,
Nuzulul Qur’an, Muharram dan lain-lain. Atas sunnah Rasulullah inilah kita
bisa meneladani bagaimana mensyukuri dan memaknai Idul fitri. Untuk itu,
salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi dan Rasul kita
Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan seluruh kaum
muslimin yang selalu setia dengan sunnah-sunnahnya. Sebagaimana Allah
dan Malaikat bershalawat pula kepada Nabi Muhammad, seperti dalam al-
Qur’an surat Al ahzab, ayat 56:
Sidang jama’ah Idul Fitri yang berbahagia
Dalam al-Qur’an, kata fitrah berasal dari kata fathara, yang arti sebenarnya
adalah “membuka” dan “membelah”. Kalau dihubungkan dengan puasa
Ramadhan yang sebulan penuh lamanya itu, maka kata ini mengandung
makna “berbuka puasa”. Fitrah juga mengandung pengertian “yang mulamula
diciptakan Allah”, yang tidak lain adalah “keadaan mula-mula”, “yang
asal”, atau “yang asli”. Jika melihat firman Allah dalam surat al-An’am ayat
79, sebuah surat yang sangat dikenal karena sering dilafadzkan dalam
pembukaan shalat, sebelum membaca al-Fatihah, yang bunyinya adalah
sebagai berikut:
“Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang
menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang
benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.”
Kata fitrah dalam konteks ayat ini (fathara) dikaitkan dengan pengertian
hanif, yang jika diterjemahkan secara bebas menjadi “cenderung kepada
agama yang benar”. Istilah ini dipakai al-Qur’an untuk melukiskan sikap
kepercayaan Nabi Ibrahim a.s. yang menolak menyembah berhala, binatang,
bulan ataupun matahari, karena semua itu tidak patut untuk disembah. Yang
patut disembah hanyalah Dzat pencipta langit dan bumi.
Dari pengertian tersebut, timbul suatu teori, bahwa agama umat manusia
yang paling asli adalah menyembah kepada Allah. Hal ini berkaitan dengan
kepercayaan kaum muslimin, berdasarkan keterangan al-Qur’an, bahwa
manusia, segera setelah diciptakan, membuat perjanjian dengan Allah,
sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat al-A’raf ayat 172:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab:
“Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya
kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan
Tuhan)”.”
Tidak selamanya manusia tetap dalam ikatan perjanjian dengan Allah
sebagaimana tergambar dalam surat al-A’raf itu. Dalam banyak kasus,
manusia merusak perjanjian itu atau bahkan memutuskannya. Kondisi
seperti inilah di saat manusia sudah sedemikian jauh dari ajaran-ajaran
agama, karena lebih memberati dorongan hawa nafsu dan godaan setan.
Manusia lupa akan jati dirinya, lupa dengan fitrahnya. Secara nyata dapat
kita lihat tipe manusia seperti ini di segala lini kehidupan. Pemimpin yang
sewenang-wenang dan menindas, pejabat yang korup, pengusaha yang
serakah, pegawai yang tidak disiplin, pedagang yang curang, tetangga yang
selalu menggunjing dan seterusnya, adalah gambaran nyata dalam kehidupan
kita, bagaimana manusia lupa dengan fitrahnya. Sudah menjadi sunnatullah,
di saat manusia memutus hubungan dengan Allah, maka ia akan pula
memutus hubungan dengan sesama manusia dan akan berbuat yang merusak
tatanan alam semesta, dan pada akhirnya ia termasuk golongan manusia
yang merugi. Seperti tampak dalam firman-Nya surat al-Baqarah ayat 27:
“yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah
(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan
di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.”
Ma’asyiral muslimin yahdikumullah
Ibadah Ramadhan yang kita jalankan sebulan penuh, adalah sarana
untuk menemukan kembali jalan menuju fitrah. Pada siangnya kita berpuasa,
di mana pahalanya tidak tergantung seberapa jauh kita lapar dan dahaga,
melainkan tergantung pada apakah kita menjalankan dengan iman dan
ihtisab kepada Allah serta penuh intropeksi atau tidak. Pada malamnya kita
dirikan shalat malam (shalatullail/tarawih), agar hati kita senantiasa terikat
dan tunduk kepada Allah pemilik jiwa raga ini. Hari-hari Ramadhan pula
kita ramaikan dengan tadarrus al-Qur’an agar kita bisa mengaca diri, apakah
tingkah-laku kita sudah sesuai dengan tuntunan al-Qur’an atau belum. Dan
pada akhir Ramadhan, kita tutup dan sempurnakan seluruh rangkaian ibadah
Ramadhan dengan zakat fitrah, sebagai ungkapan simbolik kecintaan kita
kepada kaum miskin dan papa.
Seperti yang sudah disampaikan di muka, bahwa pengertian fitrah
terkait dengan pengertian hanif. Manusia yang sudah kembali menemukan
fitrahnya (idul fitri), ia akan terkondisikan untuk menjadi hanif. Kata hanif
berasal dari kata kerja hanafa, yahnifu dan masdarnya hanifan, artinya
adalah “condong”, atau “cenderung” dan kata bendanya “kecenderungan”.
Dalam al-Qur’an, kata hanif yang dimaksud adalah “cenderung kepada yang
benar”, seperti dijelaskan oleh mufassir modern, Maulana Muhammad Ali
dalam The Holy Qur’an, yang merujuk kepada kamus al-Qur’an al-
Mufradat fi al-gharib karya al-Raghib al-Isfahani. Secara lengkap pengertian
hanif disampaikan oleh Nashir Ahmad sebagai berikut:
a. Orang yang meninggalkan atau menjahui kesalahan dan mengarahkan
dirinya kepada petunjuk.
b. Orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar
tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya
c. Orang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut
Islam dan terus menerus mempertahankannya secara teguh
d. Seseorang yang mengikuti agama Ibrahim, dan
e. Yang percaya kepada seluruh nabi-nabi.
Baik Muhammad Ali maupun Nashir Ahmad, keterangan tentang
hanif tersebut, merujuk kepada al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 135:
Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama
Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah :
“Tidak, melainkan (Kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. dan
bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik”.
Dari ayat itu pula diketahui bahwa lawan dari hanif adalah syirik
(politheis), yakni sebuah paham yang mempersekutukan Allah dengan
lainnya. Islam tidak mengajarkan politheisme (syirik) tetapi sebaliknya yang
ditekankan dalam ajaran Islam adalah monotheisme (tauhid) yaitu menolak
segala pengakuan dan keyakinan mausia atas tuhan-tuhan palsu. Jika pada
zaman Jâhiliyyah, tuhan-tuhan palsu itu dimanifestasikan dalam wujud
berhala-berhala, maka pada zaman modern ini, tuhan-tuhan palsu terwujud
dalam banyak aspek dan bidang yang lebih luas dan komplek dari sekadar
berhala-berhala sesembahan. Tuhan-tuhan itu lebih berbentuk kedhaliman
dan penindasan, atau kesenangan dunia yang ketika meraihnya harus
merampas hak-hak orang lain.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Setelah orang selalu tertambat hatinya kepada kebenaran (hanif) dan
menolak dengan keras syirik, ia akan meneladani Rasulullah dalam
perjuangannya membebaskan umat Islam dari penindasan, kebodohan dan
kemiskinan. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan
sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang penghidupannya
tergantung pada orang kaya kota itu. Orang-orang masih bodoh dan
bertakhayul, menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas,
bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup. Ada banyak budak, para janda
dan anak yatim yang diabaikan tanpa ada yang peduli terhadap nasib
mereka. Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping
membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang
dari kerajaan Romawi dan Persia yang menindas.
Rasulullah saw., yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji, adalah
nabi terakhir dan merupakan pejuang sejati. Dia membebaskan budakbudak,
anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah.
Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan
yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari
kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; menegakkan
kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.
Muslim yang peduli dengan nasib kaum miskin, bodoh dan terbelakang
dengan menyantuninya sepenuh hati, adalah penjelmaan manusia fitri yang
hanif. Merekalah yang disebut rausanfikr, yaitu muslim tercerahkan yang
peduli dengan nasib umat. Kepedulian ini menjadi sangat penting,
mengingat kondisi masyarakat kita yang masih terdapat jurang pemisah yang
cukup lebar antara si kaya dan si miskin. Seperti sindiran Allah dalam al-
Qur’an surat an-Nisa’ ayat 75:
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela)
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anakanak
yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari
negeri Ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami
pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi
Engkau!”.
Rausanfikr (muslim tercerahkan) harus tercipta dalam diri kita masingmasing.
Kita tidak boleh masa bodoh atau tidak peduli (cuek) dengan
persoalan di sekitar kita. Kepedulian pada persoalan ummat akan mendorong
kita menuju sebuah keshalehan sosial yang sangat ditekankan oleh Islam.
Islam tidak saja mengajarkan keshalehan individu (taat pada perintah ibadah
mahdhah), tetapi juga keshalehan sosial atau bahasa agamanya adalah ihsan
(orangnya: muhsin/muhsinun), yaitu kegemaran pada amal shaleh. Allah
berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 125:
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan
kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah
mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
Ada cerita menarik dalam sejarah dakwahnya Kyai Dahlan, pendiri
Muhammadiyah. Waktu itu beliau mengajarkan sebuah surat pendek dalam
al-Qur’an yaitu surat al-Ma’un (surat ke-107) kepada murid-muridnya. Para
murid sempat protes terhadap cara mengajaran beliau terus mengulang-ulang
surat tersebut, walaupun para murid sudah lama menghapal di luar kepala.
Sehingga pada suatu saat ada murid yang berani bertanya kepada Kyai
Dahlan mengenai hal itu. Lalu, konon, kyai Dahlan balik bertanya, “Apakah
engkau sudah mengamalkan surat itu ?”.
Sungguh sebuah model pengajaran Islam yang lebih mengedepankan
amaliah shalihah daripada sekadar hafalan. Model hafalan seperti inilah
yang banyak terlihat dalam pengajaran-pengajaran Islam dewasa ini,
sehingga sulit untuk melahirkan santri atau murid yang tercerahkan dan
mempunyai kepedulian (rausanfikr).
Hadirin yang berbahagi…
Ini barangkali renungan kita di sela-sela kita merayakan idul fitri
sehingga hari raya kita tetap menjadi lebih bermakna. Maka marilah kita
berdo’a kepada Allah SWT, semoga Allah memasukkan kita ke dalam
hamba-hambaNya yang pandai bersyukur, mentaati perintahnya dan
menjauhkan kita dari adzab dan siksanya yang sangat pedih.

Tidak ada komentar